EFEK DENGKI DALAM SUNAN ABU DAUD
No indek 4095
Tugas Mata Kuliah
Praktikum Penelitian Hadits
Oleh:
Muslim Harmaini : E63207002
Muhammad : E63207003
Dosen Pembimbing :
DRS. MUHID, M.Ag
FAKULTAS USHULUDDIN
JURUSAN TAFSIR HADITS KELAS AKSELERASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2009
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar
belakang masalah
Salah satu penyakit hati yang wajib dijauhi oleh
setiap manusia adalah hasud. Imam al-Ghazali menggolongkan penyakit ini dalam
kategori penyakit yang sangat berbahaya baik bagi individu yang terhinggap
penyakit ini dan juga bagi orang lain yang terkena wabah atau imbas dari
penyakit ini. Dalam Al-quran Allah berfirman terkait dengan berlindung dari
sifat dengki, seperti yang difirmankan dalam surat al-Falaq: 5:
`ÏBur
Ìhx©
>Å%tn
#sÎ)
y|¡ym
ÇÎÈ
“Dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki."
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abi Daud,
Nabi bersabda;
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ صَالِحٍ الْبَغْدَادِىُّ
حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ - يَعْنِى عَبْدَ الْمَلِكِ بْنَ عَمْرٍو - حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ
بْنُ بِلاَلٍ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ أَبِى أَسِيدٍ عَنْ جَدِّهِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِيَّاكُمْ وَالْحَسَدَ فَإِنَّ الْحَسَدَ
يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ ». أَوْ قَالَ « الْعُشْبَ ».
“Telah menceritakan Utsman bin Shalih al-Baghdadiy,
menceritakan Abu ‘Amir (‘Abdul Malik bin ‘Amr), menceritakan Sulaiman bin Bilal
dari Ibrahim bin Abi Asid dari neneknya dari Abi Hurairah, bahwa Nabi Saw
berkata, “Jauhilah dengki, karena dengki dapat menghilangkan kebaikan seperti
api yang menghanguskan kayu bakar, dalam satu riwayat dikatakan al-‘Usyb.”
Hadits yang terkait dengan dengki ini juga sering
sekali diucapkan oleh para orang-orang alim dan para da’i dalam mengajak umat
untuk menjauhi dari sifat-sifat yang dibenci Allah dan salah satunya sifat
dengki ini. Namun demikian terkait dengan bisa atau tidaknya hadits ini menjadi
hujjah, maka perlu untuk dikaji terkait sahih dan tidak sahih hadits ini. Hal
ini juga mengingat pesan dari hadits ini sangat urgen dalam mewujudkan
keharmonisan hubungan umat agar tidak saling membenci satu sama lain.
- Identifikasi
masalah
Dari gambaran permasalahan diatas, penulis ingin
mencoba memfokuskan penelitian pada:
1.
Kwalitas hadits tersebut dalam sunan Abi
Daud tentang gambaran
efek dari hasut.
2.
Kehujjahan hadits tersebut
C.
Rumusan masalah
Dari fokus masalah diatas, dapat dirumuskan beberapa
permasalahan yang terkait dengan hadits, yaitu:
1.
Bagaimana kwalitas hadits tentang efek dari hasut dalam Sunan Abi
Daud nomor indeks. 4093
2.
Bagaimana kehujjahan hadits tersebut?
3.
Mengapa
hasud dapat merusak amal kebaikan?
D.
Tujuan penelitian
Penelitian hadits ini adalah sebagai langkah awal
dari upaya dalam mengikuti sunnah Nabi secara lengkap tanpa ada lagi
keragu-raguan dalam mengamalkan Sunnah Rasulullah sepanjang masa baik secara
teoritis maupun secara praktis.
E.
Mamfaat penelitian
Hasil penelitian ini semoga bisa menjadi:
1.
Tambahan khazanah keilmuan ilmu hadits
2.
Sebagai bahan rujukan dalam mengkaji
hadits-hadits yang berkembang di masyarakat
3.
Sebagai langkah awal dalam memahami isi
Sunnah Rasulullah secara sempurna bagi masyarakat pada umumnya
F.
Kajian Pustaka
Dalam penelitian tentang hadits dalam kitab hadits
Sunan Abi Daud juga terdapat literaturnya dalam Sunan Ibn Majah.
G.
Metodelogi penelitian
1.
Sumber data
Sebagai sumber data dalam penelitian ini diamabil
dari leteratur-literatur sebagai berikut:
a.
Sumber Primer
Sumber data primer yaitu kitab Sunan Abi Daud karya
Sulaiman bin Asy’at bin Syadad bin ‘Amru Azddi Abu Daud al-Sijistani
b.
Sumber Skunder
Sumber data skunder yang meliputi kitab-kitab syarah
hadits lain, kitab ulum al-hadits, dan kitab-kitab lain yang pembahasannya baik
secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan pembahasan dalam
penelitian ini.
2.
Langkah-langkah dalam penelitian
Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah
hasil dari menggali dari sumbernya melalui penelitian kepustakaan (library
research) yaitu membaca dan menelaah secara mendalam, sehingga mendapatkan
hasil secara langsung dari leteratur keilimuan yang ada.
Penelitian ini menggunakan metode takhrij yaitu
melalui penelusuran hadits dalam kitab-kitab asli yang bersangkutan.[1] Melalui penelusuran tersebut, maka akan
mendapatkan materi hadits lengkap dengan matan dan sanadnya dan disertai dengan
pendekatan kitab-kitab ulum al-Hadits tentunya.
Kemudian metode tersebut dihadapkan dengan
penelitian hadits yang menjadi objek penelitian baik dari segi matan dan
sanadnya. Dalam upaya menghadapkan hadits objek penelitian, maka diperlukan
kitab koleksi hadits dan kitab-kitab atau buku-buku yang terkait dengan
penelitian.
Data-data yang sudah ditemukan, kemudian dilakukan
pendekatan dengan analisis data (content analisis), yaitu dengan membandingkan
teori dan pendapat yang ada, guna mengetahui keaslian dan keabsahan redaksi
matan, serta menyajikan kaidah yang diberikan oleh para muhadditsin berupa
metode kritik sanad dan matan yang merupakan penerapan pada objek penelitian
dengan cara melihat: (1) ketersambungan sanad, (2) kredebelitas perawi, (3) indikasi
keberadaan unsur pertentangan subtansi isi pada matan dengan dalil yang lain
(tidak syad), (4) tidak mengandung cacat-cacat lain (illat).[2]
H.
Sistematika penulisan
Sistematika dari penulisan karya ilmiah ini
selanjutnya akan diuraikan dalam lima bab, dengan rinciannya:
BAB I : Dalam bab pertama berisikan latar belakang
masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan
penelitian, kajian pustaka, metodelogi penelitian dan kerangka teoritis,
sistematika penulisan.
BAB II : Dalam
bab kedua berisikan landasan teori, yaitu terkait dengan pengertian hadits,
klasifikasi hadits, dan yang teori yang dibutuhkan dalam penelitian.
BAB III : Dalam
bab ketiga berisikan biografi Abi Daud dan yang terkait dengan kapebelitas
beliau dalam hadits.
BAB IV : Dalam
bab keempat bahasan yang terkait dengan analisa hadits untuk menentukan
kehujjahannya.
BAB V : Penutup (simpulan dan saran-saran)
BAB II
LANDASAN TEORI
- Pengertian
Hadits
1.
Hadits Shahih
Kata shohih secara etomologi mengikuti wazan
fa'iilun yang terbentuk dari mashdar shihah yang mempunyai arti sehat (tidak
sakit). Pemakaian kata shohih yang digunakan pada hadits hanyalah sebuah majaz.[3]
Berbagai macam definisi yang diungkapkan oleh para pakar hadits mengenai
definisi hadits shohih, akan tetapi pada dasarnya semuanya adalah sama. Menurut
Imam Ibnu al-Sholah , hadits shohih adalah:
الصحيح: فهو الحديث المسند، الذي يتصل
إسناده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط إلى منتهاه، ولا يكون شاذا، ولا معللاً.
"Hadits Shohih adalah:
Hadits yang sanadnya bersambung dengan penukilan oleh orang yang adil lagi
dhobith dari orang yang adil lagi dhobith dan seterusnya sampai selesai, tanpa
adanya penyimpangan maupun cacat."[4]
Menurut Imam al-Nawawi , yang dinamakan dengan
hadits shohih adalah:
وهو
ما اتصل سنده بالعدول الضابطين من غير شذوذ ولا علة.
"Hadits shohih adalah:
Hadits yang sanadnya bersambung dengan orang-orang yang adil lagi dhobith tanpa
adanya penyimpangan dan cacat."[5]
Sebenarnya masih banyak definisi-definisi yang
diungkapkan oleh para muhadditstsin, akan tetapi tidak kami paparkan semuanya
dalam makalah yang singkat ini. Dari kedua definisi di atas, dapat kita
simpulkan, bahwa hadits shohih mempunyai beberapa unsur:
a.
Kesinambungan sanad, yakni isnad dari matan
itu. Dengan cara setiap rawinya meriwayatkannya dari gurunya (syeikh) mulai
dari awal sanad hingga akhirnya. Dari definisi di atas maka terdapat hadits
yang tidak muttasil (bersambung) yaitu; mursal, munqati', mu'dhal dan mu'allaq.
b.
Keadilan rawi, keadilan adalah sifat
yang mendorong manusia untuk selalu bertaqwa dan memelihara diri. Dan yang
dimaksud dengan hal itu adalah keadilannya dalam menyampaikan riwayat.
c.
Ketelitian sempurna dari rawinya, yang
dimaksud dengan ketelitian sempurna ialah kesempurnaan dan kedudukannya pada
tingkat yang tinggi. Ketelitian ada dua macam. Pertama, ketelitian hafalan,
yaitu apabila ia menetapkan apa yang didengarnya di dalam dadanya, sehingga ia
bisa mengingatnya kapan saja bila ia mau. Kedua, ketelitian tulisan, yaitu
apabila riwayatnya berasal dari sebuah kitab yang dijaganya dan dikoreksinya.
d.
Tidak ada penyimpangan (tidak syadz),
artinya hadits tersebut bukanlah hadits yang syadz (menyimpang). Syadz adalah
bertentangannya seorang rawi yang tsiqah dengan rawi yang lebih tsiqah darinya.
e.
Tidak ada cacat, yakni tidak terdapat
cacat pada hadits itu. Cacat ialah sifat tersembunyi yang menimbulkan kendala
bagi penerimanya, sedangkan lahirnya adalah bersih darinya.[6]
2.
Klasifikasi Hadits Shohih
Hadits shohih dibagi menjadi dua:
a)
Hadits Shohih Lidztihi, yaitu
hadits-hadits yang telah memenuhi persyaratan-persyaratan diatas.
b)
Hadits Shohih Lighairihi.
Kedlabitan seorang rawi yang kurang sempurna,
menjadikan hadits shahih lidzatihi turun nilainya menjadi hadits hasan
lidzatihi. Akan tetapi jika kekurangsempurnaan rawi tentang kedlabitannya itu
dapat ditutupi, misalnya hadits hasan lidzatihi tersebut mempunyai sanad lain
yang lebih dlobith, maka naiklah hadits hasan lidztihi ini menjadi hadits
shahih lighairihi. Dengan demikian hadits shohih lighairih dapat didefinisikan
sebagai:
مَا كَانَ رُوَاتُهُ مُتَأَخِّراً عَنْ
دَرَجَةِ الْحَافِظِ الضَّابِطِ، مَعَ كَوْنِهِ مَشْهُوْراً بِالصِّدْقِ حَتَّي
يَكُوْنَ حَدِيْثُهُ حَسَنًا ثُمَّ وُجِدَ فِيْهِ مِنْ طَرِيْقٍ آخَرٍمُسَاوٍ
لِطَرِيْقِهِ أَوْ اَرْجَحُ مَا يَجْبُرُ ذَلِكَ الْقُصُوْرَ الْوَاقِعَ فِيْهِ.
"Hadits
yang keadaan rawi-rawinya kurang hafidz dan dlabith, tetapi mereka masih
terkenal dengan orang yang jujur sehingga hadisnya adalah hasan. Kemudian
terdapat hadits dari jalur lain yang rawinya sama atau lebih kuat, sehingga
dapat menutupi kekurangan pada hadits itu."[7]
Atau dengan ungkapan yang lebih singkat, hadits
shohih lighairihi dapat didefinisikan sebagai hadits hasan lidztihi ketika
diriwayatkan dari jalur lain yang nilainya sama atau lebih kuat. Hadits ini
dinamakan sebagai shohih lighairihi, karena keshohihan hadits tersebut tidak
datang dari esensi sanad, akan tetapi karena berkumpulnya beberapa sanad.
Kedudukan hadits shohih lighairih berada di atas hadits hasan lidzatihi dan di
bawah hadits shohih lidzatihi.[8]
2.
Hadits Hasan
a.
Pengertian Hadits Hasan
Sudah menjadi ketentuan bahwa sebagian hadits
terpenuhi syarat-syarat diterimanya suatu hadits secara sempurna dan sebagian
yang lain tidak terpenuhi syarat-syarat tersebut, baik sebagian atau
keseluruhan. Hadits yang telah memenuhi syarat-syarat diterima dinamakan sebagi
hadits shohih, sedangkan hadits yang tidak memenuhi dakatakan sebagai hadits
dloif.
Ulama yang pertama kali membagi hadits menjadi
shohih, hasan dan dloif adalah al-Imam Abu Isa al-Tirmidzi. Beliau banyak
menyebutkan hadits hasan dalam kitab sunannya, sehingga para ahli hadits
menganggap kitab beliau sebagai Kitab Al-Sunan Al-Asli Fi Ma'rifat Al-Hasan
(kitab sunan yang murni mengetahui hadits hasan).[9]
Para ulama sebelum Imam Tirmidzi membagi hadits
hanya menjadi dua macam, yaitu shohih dan dloif. Menurut mereka hadits
dloif dibagi menjadi dua; dloif yang tidak dilarang untuk diamalkan (menyerupai
hadits hasan menurut istilah Imam Tirmidzi) dan dloif yang wajib untuk
ditinggalkan, yaitu hadits yang lemah.[10]
Secara etimologi, hasan merupakan sifat musytabihat
dari kata al-husnu yang mempunyai makna al-jamal (bagus/elok/cantik) atau dapat
diartikan sebagai sesuatu yang disukai oleh hati.[11]
Mengenai definisi hadits hasan secara terminologi,
para ulama terjadi perbedaan pendapat. Hal itu disebabkan karena posisi hadits
hasan yang berada diantara hadits shohih dan dloif. Imam al-Khuthobi
mendefinisikannya sebagai hadits yang diketahui tempat keluarnya dan terkenal
para rawinya. Imam al-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits hasan adalah setiap
hadits yang diriwayatkan, pada sanadnya tidak terdapat orang yang tertuduh
dusta, tidak terdapat kejanggalan pada matannya dan hadits tersebut diriwayatkan
tidak dari satu jalur (mempunyai banyak jalur) yang sepadan maknanya.[12]
Sedangkan mayoritas ahli hadits menta'rif hadits hasan sebagai:
مَا
نَقَلَهُ عَدْلٌ قَلِيْلُ الضَّبْطِ مُتَّصِلُ السَّنَدِ غَيْرُ مُعَلِّلٍ وَلَا
شَاذٍّ.
"Hadits yang dinukilkan oleh
seorang yang adil tapi tidak begitu kokoh ingatannya, bersambung sanadnya,
tidak terdapat illat serta kejanggalan pada matannya."
b.
Klasifikasi Hadits Hasan
Hadits hasan terbagi menjadi dua:
a)
Hasan Lidzatihi
Yaitu hadits yang sanadnya bersambung dengan dinukil
dari orang adil yang kadlabitannya dibawah derajat perawi hadits shahih serta
tidak terdapat kejanggalan dan cacat dalam matannya.[13]
Dari keterangan di atas dapat disimpulakan bahwa uraian yang telah disampaikan
oleh para muhaddtsin tentang hadits hasan adalah hadits hasan lidzatihi.
Kesimpulannya ketika suatu hadits itu dikatakan sebgai hadits hasan, maka yang
dimaksud adalah hasan lidzatihi. Syarat-syarat hadits hasan:
1.
Sanadnya bersambung
2.
Para rawinya adil
3.
Para rawinya dlabith. Maksudnya derajat
kedlabitannya dibawah rawi hadits shahih
4.
Tidak terdapat syudzudz (kejanggalan
dalam matan)
5.
Tidak terdapat illat (cacat dalam matan).
b)
Hasan Lighairihi
Hadits hasan lighairih adalah hadits dloif yang
jalurnya banyak (sanadnya dari berbagai jalur) dan sebab kedlaifannya bukan
karena kefasikan atau kedustaan seorang rawi. Dari definisi ini dapat diambil
suatu kesimpulan bahwa hadits dloif bisa naik derajatnya menjadi hadits hasan
lighairihi dengan dua hal:
a.
Hadits tersebut diriwayatkan dari jalur
lain, baik kualitas sama atau lebih kuat.
b.
Kedloifan hadits tersebut adakalanya
disebabkan karena; buruknya hafalan rawi, terputusnya sanad atau rawinya tidak
diketahui biografinya.
3.
Hadits Dlaif
Secara lughot berasal dari masdar al-Dla'fi atau
al-Dlu'fi yang mempunyai arti kebalikan dari kuat.[14]
Sedangkan secara istilah, hadits dloif adalah hadits yang didalamnya tidak
terpenuhi sifat-sifat hasan, karena tidak terdapat satu atau beberapa syarat
hasan.[15]
Dalam nadhamnya, Imam al-Baiquni mendefinisikannya sebagai:
وَكُلُّ
مَا عَنْ رُتْبَةِ الْحُسْنِ قَصُرْ # فَهُوَ الضَّعِيْفُ وَهُوَ اَقْسَامٌ كَثُرْ
"setiap
hadits yang kurang dari derajat hasan, maka hadits itu adalah hdits dhoif dan
macamnya banyak."
Hadits-hadits dhoif ditinjau dari sebab kedhaifannya
ada beberapa sebabnya:
a.
Karena gugur perawi (putus sanadnya)
Yang dimaksud dengan gugurnya rawi dari sanad adalah
terputusnya silsilah sanad dengan gugurnya satu rawi atau lebih, baik disengaja
atau tidak dari sebagian rawi. Gugurnya rawi dibedakan menjadi dua:
a)
Gugur secara dhohir.
Gugurnya rawi semacam ini dapat diketahui oleh para
imam ahli hadits dan orang-orang yang menyibukkan diri dengan ulum al-hadits.
Hal itu dapat diketahui dari tidak bertemunya rawi dengan gurunya, baik karena
masanya berbeda atau semasa, akan tetapi rawi tidak berkumpul dengan gurunya
(rawi tidak mendapatkan ijazah maupun wijadah dari gurunya). Para ulama memberi
istilah tertentu terhadap hadits-hadits yang rawinya gugur secara dhohir dengan
empat nama berdasarkan tempat dan jumlah rawi yang gugur:
1)
Al-Mu'allaq, yaitu hadits-hadits yang
rawinya gugur seorang atau lebih dari awal sanad.
2)
Al-Mursal, yaitu hadits-hadits yang
rawinya gugur dari akhir sanadnya, seseorang setelah tabi'iy.
3)
Al-Mu'dlal, yaitu hadits-hadits gugur
rawi-rawinya, dua orang atau lebih, berturut-turut, baik sahabat bersama
tabi'i, tabi'i bersama tabi' al-tabi'in maupun dua orang sebelum shahabiy dan
tabi'iy.
4)
Al-munqati', yaitu hadits-hadits yang
gugur seorang rawinya sebelum sahabat, di satu tempat, atau gugur dua orang
pada dua tempat dalam keadaan tidak berturut-turut.
b)
Gugur secara khofi (samar)
Gugurnya rawi semacam ini hanya bisa diketahui oleh
para imam yang menelaah jalur-jalur hadits dan illat-illatnya. Ada dua macam,
yaitu:
1)
Al-Mudallis, yaitu hadits yang
diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan bahwa hadits itu tidak terdapat
cacat.[16] Al-Mursal
al-Khofi, yaitu hadits yang diriwayatkan dari orang yang semasa dengan cara
tidak mendengar darinya dengan ungkapan yang memungkinkan antara sima' dan
lainnya seperti lafadz qaala.[17]
b.
Karena diluar sanad (dari segi matanhya)
Terbagi menjadi dua:
a)
Hadits Mauquf
Yaitu berita yang hanya disandarkan sampai kepada
sahabat saja, baik yang disandarkan itu perkataan atau perbuatan dan baik
sanadnya bersambung maupun terputus.
b)
Hadits Maqthu'
Yaitu perkataan atau perbuatan yang berasal dari
seorang tabi'iy serta dimauqufkan padanya, baik sanadnya bersambung maupun
tidak.
B.
Penelitian Hadits
1.
Penelitian Sanad
Kaidah kritik sanad dapat diketahui dari
pengertian istilah hadits shahih dari definisi atau pengertian hadits shahih
yang disepakati oleh mayoritas ulama hadits dapat dinyatakan unsur-unsur kaidah
keshahihan sanad hadits ialah:
a. Sanadnya bersambung
b. Perawi bersifat adil
c. Perawi bersifat dhabit
d. Terhindar dari syudud
e.
Tidak
ada cacat
2.
Penelitian Perawi
Periwayatan suatu hadits dapat diterima
apabila periwayat hadits tersebut memenuhi syarat-syarat mutlak sebagai
berikut:
1.
Islam
2.
Baligh
3.
Berakal
4.
Tidak
fasiq
5.
Muruah (berwibawa)
6.
Hafidh jika meriwayat hadits dengan jalan hafalan
7.
Memahami
hadits bila riwayatnya dengan mendengarkan
Jika diantara
syarat-syarat diatas gugur salah satunya, maka adil dan tidaknya adalah melalui
kemasyhuranya baik, terpuji akhlaknya dan pendapat kebanyakan ulama hadits,
atau dua orang serta boleh dengan pernyataann satu orang ulama hadits.[18]
3.
Syarat-Syarat Jarh wa Ta’dil
Perawi yang
diterima riwayatnya adalah terpercaya dan dhabit. Terpercaya dan dhabit
mempunyai criteria antara lain; Islam, berakal, baligh, selamat dari fasik dan
terjaga wibawanya. Keadilan seorang perawi bisa disebabkan masyhur kebaikannya,
pujian yang baik kepadanya atau komentar sebagian besar imam hadits atau
komentar dua orang ulama hadits atau boleh dengan seorang saja menurut pendapat
yang sahih. Ibn Salah berkata dan dikembangkan oleh Ibn ‘Abd Bar, “setiap orang
yang mempunyai ilmu dan terkenal aktif dalam hadits maka orang itu adalah adil.
Sedangkan
terkait dengan dhabit maka hal itu melalui kesepakatan terpercayanya baik segi
lafadh dan makna. Intinya, sifat adil bisa diterima walaupun ada sebabnya atau
tidak karena luas cakupannya. Sedangkan jarh harus melalui penafsiran, karena
sifat jarh banyak yang berbeda dalam menafsirinya.[19]
Seorang perawi
harus mempunyai ilmu, bertaqwa, war’a, jujur, tidak mempunyai sifat yang
meruntuhkan adilnya, tidak bertentangan dengan perawi yang lain, mengetahui
sebab-sebab jarh wa ta’dil.[20]
4.
Lafadh Jarh wa Ta’dil dan
Tingkatannya
Ulama yang pertama kali menentukan
peringkat jarh wa ta’dil ialah Abu Muhammad Abdurahman bin Abu Hatim
Al-Razy.[21]
Yang kemudian disusul oleh ulama hadits lainnya yaitu Adz-Dzahabi, Al-Iraqi,
Ibnu Nazar dan lain-lain.[22]
Berikut ini tingkatan ta’dil:
a.
Kata-kata yang menunjukkan intesitas
maksimal dalam hal ta’dil, misalnya: ausaqun-nas, adibatun nas,
laisa lahu nadzir.
b.
Kata-kata yang berupa kenyataan: fulan
laa yasalhu anhu, fulan laa yas’alhu’an mitslihi
c.
Kata-kata yang mempertegas kualitas tsiqah
dengan salah satu sifat diantara sekian sifat adil dan tsiqah, baik
dengan kata-kata yang sama atau dengan kata yang searti: tsiqah hafidz,
tsiqah makmun, tsiqah, tsiqah-tsiqah.
d.
Kata-kata yang menunjukkan sifat adil
dengan kata yang mengisyaratkan kedhabitan, misalnya muttaqin,
tsabat, adil dhabit, adil imam hujjah.
e.
Kata-kata yang menunjukkan adil, tetapi
tidak menunjukkan kedhabitan, misalnya laa ba’sa bihi,makmun, shaduq,
malialla shiddiq, shalihul hadits.
f.
Kata-kata yang mendekati nilai cacat
ialah shaduq insyaallah,shuaih, syaikh, arsu la ha sabihi, laisa bi ha’id
minas shawuh.[23]
Berikut tingkatan-tingkatan lafadz Jarh:
a.
Kata-kata yang menunjukkan
tingkatan maksimal dalam hal tarjih: akdabun nas, raknu al-kadzib
b.
Kata-kata yang menunjukkan ketertuduhan
periwayat pertama, contoh: kadzab, wadla’
c.
Kata-kata yang menunjukkan ketertuduhan
perawi sebagai pembohong, pemalsu atau sejenisnya: yasruqul hadits, wadli,
matruq atau laisa bi tsiqah.
d.
Kata-kata yang kedhaifan
yang sangat: rudda haditsuhu tharaha haditsu dhaif laisa bihi syai
e.
Kata-kata yang menunjukkan penelitian dhaif
pada perawi atau keraguan hafalan: muraharibul hadits, la yahtajju bih dhaif.
f.
Kata-kata yang mensifati perawi dekat dengan
sifat yang mengarah pada kedhaifannya, akan tetapi dekat dengan sifat ta’dil:
laisa bi dzalik, fihi waqaf laisa bi hujjah, fihi dhaifun.
5.
Pandangan Ulama Tentang Jarh wa
Ta’dil
Men-ta’dil atau men-tarjih
seseorang perowi itu ada kalanya mubham (tidak disebutkan
sebab-sebabnya) dan ada kalanya mufassar (disebutkan sebab-sebabnya).
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang penerima jarh dan ta’dil
yang mubham dengan beberapa pendapat antara lain:
a.
Menurut pendapat yang shahih dan mashur,
menilai keadilan perawi dapat diterima meskipun tanpa penjelasan sebab-sebabnya
karena sebab itu banyak sekali dan sulit menyebutkannya, sedang mentarjih tidak
dapat diterima kecuali dijelaskan sebab-sebabnya.[24]
b.
Untuk ta’dil harus disebutkan
sebab-sebabnya, tetapi menjarhkan tidak perlu karena sebab-sebab menta’dilkan
itu bisa dibuat sehingga harus diterangkan, sedang mentarjihkan tidak.
c.
Untuk kedua-duanya harus disebutkan
sebab-sebabnya.
d.
Untuk kedua-duanya tidak perlu disebutkan
sebab-sebabnya, sebab si jarh dan mu’taddil sudah mengenal
seteliti-telitinya sebab-sebab tersebut.
6.
Pertentangan Antara Jarh wa Ta’dil
Apabila terjadi
pertentangan antara Jarh dan adil maka ada beberapa pendapat
ulama tentang hal itu:
1. Mendahulukan Jarh terhadap Ta’dil
2. Mendahulukan Ta’dil terhadap Jarh apabila yang
mengadilkannya lebih banyak
C.
Penelitian Matan
Ulama hadits
menerangkan tanda-tanda yang berfunsi sebagai tolak ukur bagi matan yang
shahih. Sebagian ulama hadits mengemukakan tanda-tanda tersebut sebagai tolak
ukur untuk meneliti apakah suatu hadits berstatus palsu ataukah tidak palsu.
Ulama hadits memang tidak menjelaskan urutan pengunaan butir-butir tolak ukur
yang dikemukakan. Hal itu dapat dimengerti karena persoalan yang perlu diteliti
pada berbagai matan memang tidak selalu sama. Jadi, pengunaan butir-butir tolak
ukur sebagi penelitian matan disesuaikan dengan masalah yang terdapat pada
matan yang bersangkuatan.
Adapun tolak
ukur penelitian matan yang telah dikemukakan oleh ulama tidaklah seragam.
Al-Khatib Al-Baghdadi menjelaskan bahawa matan hadits yang maqbul (
diterima sebagai hujjah) haruslah:
a.
Tidak bertentangan dengan akal sehat.
b.
Tidak bertentangan dengan hukum Al-Quran
yang telah muhkam.
c.
Tidak bertentangan dengan hadits mutawatir.
d.
Tidak bertentangan dengan amalan yang
telah menjadi kesepakatan ulama masa lalu.
e.
Tidak bertentangan dengan dalil yang
sudah pasti.
f.
Tidak bertentangan dengan hadits ahad
yang kualitas keshahihannya lebih kuat.[26]
Sedangkan Shalahuddin Al-Adlabi mengemukakan bahwa
pokok-pokok tolak ukur penelitian keshahihan matan ada empat macam yakni:
a.
Tidak bertentangan dengan petunjuk Al-Quran.
b.
Tidak bertentangan dengan hadits yang
berkualitas lebih kuat.
c.
Tidak bertentangan dengan akal sehat,
indera dan sejarah.
d.
Susunan perntyataan menunjukkan
cirri-ciri sabda kenabian.[27]
D.
Kehujjahan Hadits
Sebuah hadits dapat menjadi hujjah (dalil),
maka tidak terlepas dari kriteria hadits yang sudah di bagi oleh ahli hadits,
yaitu ada hadits sahih, hasan, dan dhaif dari segi kualitas hadits. Namun
demikian, dalam klasifikasi hadits dari segi kuantitas perawi dibagikan kepada
mutawatir, masyhur, dan ahad. Maka hadits yang kategorinya mutawatir tanpa
melakukan tinjauan sanad wajib untuk diamalkan. Sedangkan hadits masyhur yang
tingkatannya dibawah mutawatir juga wajib diamalkan menurut Abi Hanifah, karena
mendekati kepada yakin. Selanjutnya hadits ahad bila syarat-syaratnya terpenuhi
maka menurut jumhur ulama hadits hukumnya wajib diamalkan juga.[28]
Pada intinya bila hadits tersebut memenuhi
syarat-syarat kesahihanya, para ulama hadits sepakat untuk dijadikan sebagai
hujjah. Terkait dengan hadits hasan juga dapat dijadikan hujjah walaupun hadits
tersebut berada dibawah kekuatan hadits sahih, karena ada kemungkinan bila
terjadi pertentangan dalam hadits hasan ada hadits sahih yang mendukungnya.[29]
Sedangkan hadits dhaif para ulama berbeda dalam
hukum menjadikannya sebagai hujjah, ada tiga penadapat ulama sebagai berikut:
1.
Tidak boleh diamalkan secara mutlak,
baik dalam fadhail ‘amal atau hukum
2.
diamalkan secara mutlak
3.
diamalkan hanya pada fadhail ‘amal,
pengajaran apabila memenuhi sebagian syarat-syarat yang ada. Menurut Ibn Hajar
ada beberapa syarat untuk dapat diamalkan hadits dhaif dalam hal fadhail ‘:
a.
Tidak begitu dhaif
b.
Masuk dibawah pokok dasar suatu yang
diamalkan
c.
Tidak menyakini sebaga hujjah (dalil)
tetapi hanya sebagai kehatian-hatian saja.[30]
BAB III
ABI DAUD DAN KITAB SUNANNYA
- Biografi
Abi Daud
Abu Daud adalah Abu Daud Sulaiman ibn Asy’ats ibn
Syidad ibn Amar ibnAmir as-Sijistany, (demikian menurut keterangan IbnHatim),
seorang ulama hadits yang telah berjasa menyusun kitabnya As-Sunan yang
mengumpulkan hadits-hadits hokum. Beliau dilahirkan di Bashrah pada tahun 202
H, dan wafat tahun 275 H. Abu Daud menikah dan mempunyai anak. Salah seorang
putra remajanya biasa pergi bersamanya untuk belajar di majlis ulama hadits.
Sebagian besar ulama menyanjung Abu Daud dan
mengakui bahwa beliau seorang hafidh yang sempurna, yang mempunyai ilmu yang
banyak, war’a dan mempunyai daya paham yang cerdas dalam bidang hadits dan
lain-lain.
Beliau antara lain meriwayatkan dari Abdullah ibn
Maslamah al-Qa’naby, Abu al-Walid ath-Thayalisi, Utsman ibn Abi Syaibah, Ahmad
ibn Hanbal, Yahya ibn Ma’in. sedangkan yang meriwayatkan hadits darinya adalah
At-Tirmidzy, An-Nasa’y, Ahmad ibn Muhammad ibn Ziyad al-Araby, dan Abu Ali
Muhammad ibn Ahmad ibn Amar al-Lulu’y.[31]
- Karangannya
antara lain:
1)
Kitab As-Sunan
2)
Masaail Imam Ahmad ibn Hanbal
3)
Ijaabat ‘ala Sualaat al-Ajurry
4)
Risalaat Fi Washf Kitab As-Sunan
5)
Al-Zuhud
6)
Tasmiyaat al-Akhwan Ruwwat
Al-Hadits
7)
Kitab Maraasil
8)
Kitab fi Rijaal
9)
Kitab al-Qadar
10) Kitab
al-Naskh
11) Musnad
Malik
C.
Kitab Sunan Abi Daud
Al-Kahattaby berkata, “Kitab
As-Sunan susunan Abu Daud, adalah kitab pertama yang menerangkan hadits-hadits
hokum. Sebagian besar ulama menerima baik kitab As-Sunan itu. Karenanya ia
menjadi hakim antara fuqaha yang berlainan mazhab.” Kitab itulah yang dipegang
oleh Ulama Iraq, Mesir, Maroko, dan lin-lain.[33]
Banyak komentar telah ditulis atas kitab ini. Yang
ada dan terbaik adalah kitab karya Syams al-Haq Azimabadi, berjudul ‘Aun
al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud. Komentar yang sama baiknya adalah Badz
al-Majhud fi Hall Abi Daud.[34]
Ibn al-‘Araby berkata, “ jika seseorang mampu memahami Alquran dan Kitab
As-Sunan Abi Daud maka sudah cukup dalam kehidupan beragamanya.”[35]
Abu Daud dalam menyusun kitab As-Sunannya, ia
membagi isi kitabnya dalam tiga bagian:
1.
Sahih, yaitu kebanyakannya dari kitab
Al-Bukhary dan Muslim dan isi haditsnya seperti yang ada dalam kedua kitab
tersebut.
2.
Sahih menurut kebanyakan Ulama Hadits.
Abu Abdullah ibn Mandah berkata: “ sesungguhnya syarat Abi Daud dan Nasa’y
adalah mentakhrij hadits-hadits yang sebagian ulama hadits menyepakatinya,
apabila hadits itu tidak putus sanadnya dan irsal.
3.
Hadits-Hadits yang sudah ditahkrijkan
oleh sebagian besar ulama Hadits untuk kontradiksi dan mereka mentakhrijkannya
bukan meyakini bahwa hadits itu sudah sahih, tetapi hanya untuk menjelaskan
kecacatannya menurut yang mampu dipahami oleh ahlinya.
Bila ada yang berkomentar, mengapa hadits-hadits
yang kontradiksi ditempatkan juga dalam kitab-kitab mereka, maka jawabannya ada
tiga:
a.
Sebagian ulama berhujjah dengan hadits
itu dan mereka menjelaskan kecacatannya untuk menghilangkan keraguan.
b.
Sebagian ulama Hadits tidak menentukan
syarat yang menjadi acuan Al-Bukhari dan Muslim, karena Al-Bukhari berkata:
“Saya tidak mentakhrijkan hadits-hadits kecuali hadits yang sahih dan saya
tinggalkan dalam kitab Sahih karena terlalu panjang. Muslim berkata: “Tidaklah
semua hadits-hadits yang tempatkan dalam kitab ini, tetapi saya takhrijkan
seperti yang sudah disepakati oleh kebanyakan ulama. Sedangkan ulama hadits
sesudahnya tidak berpendapat seperti itu, tetapi mareka takhrijkan sebuah
hadits beserta kontradiksinya.
c.
Kami melihat para fuqaha dan ulama
lainnya menempatkan dalil dialog dalam kitab mereka serta mereka mengetahui itu
bukan dalil, maka perbuatan Al-Bukhari dan Muslim sama seperti yang dilakukan
oleh para fuqaha.[36]
D.
Data Hadits Tentang kecaman terhadap
orang yang tidak mau mengajari orang lain nomor indeks 4095
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ صَالِحٍ الْبَغْدَادِىُّ
حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ - يَعْنِى عَبْدَ الْمَلِكِ بْنَ عَمْرٍو - حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ
بْنُ بِلاَلٍ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ أَبِى أَسِيدٍ عَنْ جَدِّهِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِيَّاكُمْ وَالْحَسَدَ فَإِنَّ الْحَسَدَ
يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ ». أَوْ قَالَ « الْعُشْبَ ».
“Telah menceritakan Utsman bin Shalih al-Baghdadiy,
menceritakan Abu ‘Amir (‘Abdul Malik bin ‘Amr), menceritakan Sulaiman bin Bilal
dari Ibrahim bin Abi Asid dari neneknya dari Abi Hurairah, bahwa Nabi Saw
berkata, “Jauhilah dengki, karena dengki dapat menghilangkan kebaikan seperti
api yang menghanguskan kayu bakar, dalam satu riwayat dikatakan al-‘Usyb.”
Sebelum melakukan penelitian hadis, terlebih dahulu
menentukan hadis yang akan diteliti dan mencari hadis tersebut dari berbagai kitab
hadis yang memuat apa yang akan diteliti secara lengkap pencarian hadis tentang
Allah Sangat benci perceraian ditempuh melalui 2 kitab takhrij, yaitu:
1.
Menggunakan
kitab Mausu’ah Athraf Al-Hadits Al-Naby Al-Syarif dengan kata سُئِلَ ,dalam kitab
tersebut terdapat hadits dalam Kitab Sunan Abi Daud. Dan juga terdapat dalam
kitab Sunan Ibn Majah.
Adapun penelitian tentang hadits ini, penulis hanya meneliti
dalam Kutub As-Sittah saja, dan terdapat beberapa hadits yang lain
sebagai berikut:
2.
Dalam
Sunan Ibn Majah
حَدَّثَنَا هَارُونُ
بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْحَمَّالُ وَأَحْمَدُ بْنُ الأَزْهَرِ قَالاَ حَدَّثَنَا ابْنُ
أَبِى فُدَيْكٍ عَنْ عِيسَى بْنِ أَبِى عِيسَى الْحَنَّاطِ عَنْ أَبِى الزِّنَادِ عَنْ
أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « الْحَسَدُ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ
كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ وَالصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الْخَطِيئَةَ كَمَا يُطْفِئُ
الْمَاءُ النَّارَ وَالصَّلاَةُ نُورُ الْمُؤْمِنِ وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ مِنَ النَّارِ ».
Dalam penelitian sebuah hadits ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan yang berkaitan dengan penelitian hadits
ini:
3
Sanad dan Matan Hadits
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ صَالِحٍ الْبَغْدَادِىُّ
حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ - يَعْنِى عَبْدَ الْمَلِكِ بْنَ عَمْرٍو - حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ
بْنُ بِلاَلٍ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ أَبِى أَسِيدٍ عَنْ جَدِّهِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِيَّاكُمْ وَالْحَسَدَ فَإِنَّ الْحَسَدَ
يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ ». أَوْ قَالَ « الْعُشْبَ ».
4.
Skema Sanad Abi Daud
5.
I’tibar
Melihat dari jalur para perawi mulai dari Abi Daud,
maka Abi Daud menjadi syahid bagi hadits yang diriwayatkan oleh Dailami dari
Muawiyyah bin Haidah dalam hadits efek hasud yang berbunyi الحسد يفسد الآيمان.
Terkait dengan jalur sanad hadits Abi Daud ini terdapat ketidak jelasan pada
perawi Ibrahim bin Abi Asid yang meriwayatkan hadits dari neneknya, tetapi
neneknya tersebut tidak ada ahli hadits yang mengetahui siapa yang pasti
neneknya tersebut. Sedangkan Ibn Majah bisa menjadi syahid bagi Abi Daud
walaupun dalam jalur rawinya terdapat salah satu perawi yaitu ‘Isa bin Abi ‘Isa
al-Hannath yang menurut komentar ahli hadits ia adalah termasuk dalam orang
yang matruk al-Hadits dan mungkar al-Hadits. Melihat dari
gambaran seperti ini, maka kedua hadits ini dari segi sanadnya tidak bisa
dikategorikan kepada sahih karena terdapat kecacatan pada perawinya. Namun demikian, hadits ini walaupun dhaif karena ada
factor-faktor yang mencacatkannya, tetapi bisa digolongkan dalam kategori dhaif
yang maqbul ma’mulun bihi, karena kelemahannya bukan disebabkan oleh
hal-hal yang sangat fatal. Tetapi bila dhaifnya disebabkan oleh hal-hal yang
sangat fatal, misalnya perawi tertuduh pendusta, pembohong, fasiq, maka dhaif
hadits macam ini tidak bisa didukung oleh factor pendukung yang lain sama
sekali. Kalau perawi dalam sanadnya Abi Daud perawinya umumnya dinilai tsiqoh
dan jujur hanya jalur Ibrahim bin Abi Asid yang di majhulkan tentang
neneknya tempat ia meriwayatkan hadits.
6.
Kritik
sanad/Jarh wa Ta’dil
Dalam melakukan upaya kritik sanad, maka perlu melihat jalur
setiap perawi hadits yang bersangkutan untuk melihat ada da tidak terjadi
ketersambungan sanad periwayatannya sehingga bisa ditentukan hadits tersebut
shahih ataupun tidak.
1. Utsman bin Shalih al-Baghdady
Utsman bin
Shalih bin Said al-Khiyath al-Khalaqani, Abu al-Qasim al-Marwazi. Ia termasuk
dalam tabi’-tabi’in pada tingkatan kesebelas dan meninggal pada tahun 256 H.
gurunya antara lain adalah Abu Amir, Muhammad bin Umar al-Waqidi. Muridnya
antara lain; Abi Daud, dan lain-lain. Ibn Hajar dalam Tahzib al-Kamal
karya al-MIzzi berkata, Utsman bin Shalih al-Bahgdadi adalah termasuk dalam
orang yang tsiqoh. Al-MIzzi dalam Tahzib al-Kamal mengatakan, Ibn
Hibban dalam kitab As-Tsiqqot nya berkata, bahwa Utsman bin Shalh
al-Baghdady termasu orang yang tsiqqoh. Model periwayaannya dengan ثنا.
2. Abu ‘Amir
Abu Amir adalah
Abdul Malik bin Amir al-Qais, Abu Amir al-‘Aqdy al-Bashri. Ia termasuk dalam
tabi’ tabiin pada tabaqat kesembilan dan meninggal pada tahun 204/205 H.
gurunya antara lain adalah Sulaiman bin Bilal, Sulaiman bin Mughirah. Muridnya
antara lain; Utsman bin Shalih al-Baghdady dan lain-lain. Ibn Hajar dan
Az-Zahabi dalam Thzib al-Kamal mengatakan bahwa, Abdul Malik bin Umar termasuk
orang yang tsiqoh dan hafidh. Al-Mizzi berkata dalam Tahzib
al-Kamal, Abu Hatim menilai Abdul Malik bin Umar adalah orang yang jujur. Ibn
Hajar dalam Tahzib al-Tahzib berkata, Ibn Sa’ad menilainya orang yang tsiqoh.[37]
Model periwayatannya dengan ثنا
3. Sulaiman bin Bilal
Sulaiman bin
Bilal al-Qurais al-Taimi. Ia termasuk dalam Tabi’-tabi,in pada tabaqot
kedelapan. Ia meninggal pada tahun 177 H. Gurunya antara lain adalah Ibrahim
bin Abi Asid, Bardan bin Abi Nadr dan lain-lain. Muridnya diantaranya; Abu
Amir, Ziad bin Yunus, dan lain-lain. Ibn Hajar dan al-Zahabi dalam Tahzib
al-Kamal menilai Sulaiman bin Bilal adalah Tsiqoh dan Imam.
Al-Mizzi dalam Tahzib al-Kamal berkata, Abu Thalib dari Ahmad bin Hambal
berkata bahwa Sulaiman bin Bilal termasuk dalam kategori بأسلا. Model periwayatannya dengan عن.
4. Ibrahim bin Abi Asid
Ibrahim bin Abi
Asid al-Barrad al-Madany adalah tabi’ tabi’in pada tabaqot yang ketujuh.
Gurunya antaranya neneknya. Muridnya antaranya adalah Sulaiman bin Bilal, Abu
Dhamroh Anas bin ‘Iyadh al-Layits. Ibn Hajar dan Al-Zahabi menilai Ibrahim bin
Abi Asid dengan orang yang jujur dan seorang guru. Model periwayatannya dengan عن.
5. Abi Asid
Abi Asid adalah
neneknya Ibrahim bin Abi Asid. Ia termasuk dalam tabaqot ketiga dari tabi’in.
Ibn Hajar dalam Tahzib al-Kamal berkata, terkait dengan sifat-sifatnya tidak
ada yang mengetahuinya. Model periwayatannya dengan عن.
6. Abu Hurairah
Abu Hurairah
al-Dusiy al-Yamani adalah seorang sahabat yang hafidh. Ia termasuk seorang
sahabat dalam tabaqat pertama dan meninggal pada tahun 57 H. ia berguru antaranya
pada Nabi, Umar ibn al-Khattab, Utsamah ibn Zaid. Muridnya antara lain Anas ibn
Malik, Ismail ibn Ibarahim. Periwayatannya dengan أن.
7. Ahmad bin al-Azhar
Ahmad bin
al-Azhar bin Mani’ bin Salith bin Ibrahim al-‘Abdiy al-Naisaburiy. Ia termasuk
dalam kalangan tabi’-tabi’in pada tabaqot kesebelas. Ia meninggal pada tahun 263
H. ia meriwayatkan hadits antara lain
pada Muhammad bin Ismail bin Abi Fudaik, Abi Muslim Abdurrahman bin Waqid
al-Waqidiy. Muridnya antara lain adalah an-Nasaiy, Ibn Majah.
8. Harun bin Abdullah al-Hammal
Harun bin
Abdullah bin Marwan al-Bahgdady, Abu Musa al-Bazzaz al-Hafidh yang terkenal
dengan al-Hammal. Ia termasuk dalam kelompok tabi’-tabi;in pada tingkatan
kesepuluh dan meningggal pada tahun 243 H. ia meriwayat hadits antara lain dari
Said bin Sulaiman al-Washithi, Abi Daud Sulaiman al-Thayalisi, Ibn Abi Fudaik.
Yang meriwayatkan hadits darinya antara lain; Abu Zar’ah, Jama’ah Mukharrij
hadits selain al-Bukhari. Ibn Hajar dan al-Zahabi berkata, ia termasuk orang tsiqoh
dan hafidh. Model periwayatannya dengan ثنا
9. Ibn Abi Fudaik
Ibn Abi Fudaik
adalah Muhammad bin Ismail bin Muslim bin Abi Fudaik. Ia termasuk dalam
tabi’-tabiin pada tabaqot kedelapan dan meninggal pada tahun 200 H. ia
meriwayat hadits pada Isa bin Abi Isa al-Hannath, Ismail bin Muslim Abi Fudaik. Muridnya antara lain;
Ahmad bin Shalih al-Mishri, Harun bin Abdullah al-Hammal. Ibn Hajar dan
al-Zahabi menilainya dengan orang yang jujur. Ibn Hajar dalam Tahzib
al-Tahzibnya ia berkata, Ibn Main menilainya dengan tsiqoh. Ibn Saad
berkomentar, bahwa Ibn Abi Fudaik orang yang banyak meriwayatkan hadits tetapi
tidak bisa menjadi hujjah. Model periwayatannya dengan عن.
10. Isa bin Abi Isa al-Hannath
Isa bin Abi Isa
Al-Hannath, Abu Musa al-Madini. Ia hidup pada masa tabi’in dan berada pada
tingkatan keenam. Ia meninggal pada tahun 151 H dan ada yang berpendapat
sebelum itu. Ia meriwayatkan hadits diantara lain dari; Anas bin Malik, Abi
Zannadz, Musa bin Malik bin Anas. Muridnya antara lain; Ibn Abi Fudaik, Hatim
bin Ismail. Ibn Hajar dan al-Zahabi menilainya denganمتروك dan banyak yang mendhaifkan riwayatnya.
Al-Mizzi dalam Tahzib al-Kamal berkata, ‘Amr bin Ali mendengar dari
Yahya bin Said berkata, bahwa Isa bin Abi Isa termasuk dalam munkar
al-Hadits dan mempunyai hafalan yang buruk. Ibn Hajar dalam Tahzib
al-Tahzib berkata, An-Nasai berkomentar bahwa ia tidak tsiqoh dan tidak pernah
menulis hadits. Model periwayatannya dengan عن.
11. Abi Zannad
Abi Zannath
adalah Abdullah bin Zakwan al-Qursyi, Abu Abdurrahman al-Madini yang terkenal
dengan Abu Zannath. Ia termasuk dalam kelompok tabi’in pada tabaqot yang
kelima. Ia meninggal pada tahun 130 H dan ada yang mengatakan sebelum itu. Ia
meriwayatkan hadits diantaranya pada Anas bin Malik, Abidullah bin Abdullah bin
Atabah. Muridnya antara lain adalah Sufyan bin Uyainah, Sufyan al-Tsauri, Isa
bin Abi Isa al-Hannath. Ibn Hajr dan al-Zahabi menilainya dengan tsiqoh yang
faqih. Al-Mizzi dalam Tahzib al-Kamal ia berkata, Abdullah bin Ahmad bin Hambal
berkomentar bahwa Abi Zannath adalah orang yang tsiqoh. Model periwayatannya
dengan عن.
12. Anas ibn Malik
Anas bin Malik
bin Nadhr bin Dhamdham bin Zaid bin Harm bin Jundab bin Amir bin Ghanam bin
‘Addi bin Najjar al-Anshari al-Najjari, Abu Hamzah al-Madini. Beliau salah satu
sahabat pada tingkatan pertama. Ia meninggal pada tahun 92/93 H. ia
meriwayatkan hadits diantaranya pada Rasulullah Saw, Ubay bin Ka’ab, Abdullah
bin Abbas, dan lain-lain. Muridnya antara lain adalah Ibrahim bin Maisaroh,
Anas bin Sirrin, Abi Zannath, dan lain-lain. . Periwayatannya dengan أن.
BAB IV
KUALITAS HADITS TENTANG EFEK DARI
HASUD
- Kualitas
Sanad
Meneliti jalur sanad adalah suatu hal yang sangat
penting untuk mengetahui kualitas sebuah hadits dan bisa atau tidak hadits
tersebut dijadikan hujjah (dalil) dalam mengamalkannya. Hadits yang
ditakhrij oleh Abi Daud ini adalah termasuk dalam kategori dhaif disebabkan
oleh tidak terdeteksi salah satu perawi dari jalur Ibrahim bin Abi Asid,
sehingga ia digolongkan dalam bagian hadits munqati’ karena majhul
salah satu perawinya. Namun demikian, hadits ini bisa dimasukkan dalam hadits maqbulbih
ma’mulbih, karena bisa didukung oleh factor yang lain yang bisa
memperkuatnya, sehingga hadits ini berada pada tingkat hasan li ghairihi.
- Kualitas
Matan Hadits
Melihat dari segi matannya yang tidak terjadi
kecacatan dan syudud serta tidak menentang dengan isi Alquran dan juga
terdapat hadits lain yang berbicara terkait dengan efek dari penyakit hasud,
maka dari segi matannya bisa menjadi salah satu pendukung untuk mengkategorikan
hadits ini baik dari sisi matannya.
- Kehujjahan
Hadits
Dari deskriptif analisa terkait sanad dan
matan hadits efek dari hasud, maka hadits tersebut bisa dijadikan hujjah
sebagai syariat bagi individu yang akan menyempurnakan amalan ibadahnya tanpa
digerogoti oleh penyakit hasud ini sekaligus juga bisa menciptakan hubungan
yang baik antara satu dengan lainnya, karena penyakit hasud ini sangat
berbahaya baik bagi pemiliknya maupun terhadap orang lain.
- Kajian tentang hasud
Orang yang
dengki mempunyai dua kerugian, kerugian pertama ia berdosa karena menyakiti
orang lain, yang kedua ia tanpa disadari telah menyerahkan amal baiknya kepada
orang yang didengkinya.
BAB V
PENUTUP DAN KESIMPULAN
- Simpulan
Setelah melewati
penelitian hadits ini melalui sanad dan matannya, maka dapat diambil beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1)
Jalur sanad hadits yang di takhrij oleh
Abi Daud adalah jalur hadits yang sampai kepada Rasulullah, walaupun dari segi
perawinya terdapat kekurangan dari beberapa orang dalam hal kedhabitannya yang
tidak sampai pada tingkat kedhabitan yang sempurnatetapi dari segi ketsiqohan
dan kepercayaannya diakui oleh para komentator ahli hadits.
2)
Hadits yang di takhrij oleh Abu Daud
dengan kategori Hasan dan Shahih karena didukung oleh sanad yang lain, maka
hadits ini bisa digolongkan sebagai hadits ma’mulun bihi sebagai
pengamalan dalam kehati-hatian dan pegangan bagi setiap ahli ilmu.
- Saran-saran
Setiap usaha
manusia yang serba kekurangan tentunya dan pasti ada kekurangan-kekurangan.
Kekurangan inilah akan menjadi kewajiban insan yang lain untuk menyempurnakan
atau menutupinya.maka penelitian penulis masih banyak kekurangannya ini
dimohonkan diberikan masukan yang positif untuk lebih selektif lagi dalam
mengkaji ilmu yang berkaitan dengan penelitian hadits khususnya.
DAFTAR
PUSTAKA
al-Halq al-Adhim al-Abdy Abi Tayyib, Muhammad al-Syamsyi, ‘Aunul
Ma’buud, Bairut: Dar al-Kitab
Ilmi, Juz XIV, 1415 H
Azami, M. M., Memahmi Ilmu Hadits, Jakarta : Lentera, 2003
Ajjaj al-Khatib,
Muhammad,. Ushul
al-Hadits, Bairut: Dar al-Fikr, 2006
al-Maliki, Muhammad bin Alwi, al-Manhal
al-Lathif, tt.tp
al-Thahan Mahmud, Taysir
Musthalah Hadits, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
al-Maliki,
Muhammad bin Alwi, al-Manhal al-Lathif, Jeddah: Mathabi' Sahar, 1982
al-Thohan, Mahmud, Taysir Musthalah
al-Hadits, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.)
al-Suyuthi,
Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar, Tadrib al-Rawi, Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, 2002
al-Lahim, Ibrahim, Syarah Ikhtisar Ulum al-Hadits,
tt.tp,juz I 242
al-Asqalaniy,
Ibn Hajar, Tahzib al-Tahzib, Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1993, cet.I
Fatchur Rahman, Ikhtisar
Musthalah al-Hadits, Bandung: al-Maarif, tt
Hajjaj Al-Kathib Muhammad, Ushul Al-Hadts Ulumuhu
Wa Musththalahuhu.., tt.tp
Ismail M. Syuhudi, Hadits Nabi Menurut Pembela
Pengingkar Dan Pemalsunya, Jakarta: Gema Insane Press, 1995
Ibn Katsir, Al-Ba’its al-Hatsits fi Ikhtisar ulum
al-Hadits, tt.tp
Ibnu Taimiyah, Majmu'
Fatawa, t.t., t.p. Juz 18
Ibnu al-Sholah, Muqaddimah
Ibnu al-Sholah, tt.tp
Ismail M. Syuhudi, Jakarta , Metodelogi Penelitian Hadits:
Sebuah Tawaran Metodelogis, Bulan Bintang, 1992
Zuhri, Muhammad, Yogyakarta ,
Telaah Matan Hadits: Sebuah penawaran Metodelogis, Lesfi, 2003
[1] . M.
Syuhudi Ismail, (Jakarta ,
Metodelogi Penelitian Hadits: Sebuah Tawaran Metodelogis, Bulan Bintang),
1992, hal 43.
[2] .
Muhammad Zuhri, (Yogyakarta , Telaah Matan
Hadits: Sebuah penawaran Metodelogis, Lesfi), 2003, hal. 396.
[3] . Jalaluddin Abdurrahman bin Abu
Bakar al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
2002), 27.
[4] . Ibnu al-Sholah, Muqaddimah
Ibnu al-Sholah, (tt.tp) 1.
[5] . al-Suyuthi, Opcit, 27.
[6]
. Muhammad bin Alwi
al-Maliki, al-Manhal al-Lathif, (Jeddah: Mathabi' Sahar, 1982), 58-59. Mahmud
al-Thohan, Taysir Musthalah al-Hadits, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), 30.
[7].
Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalah al-Hadits, (Bandung:
al-Maarif), 124.
[9] . Muhammad Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, (Beirut: Dar
al-Fikr, 2006), 218.
[10] . Ibnu Taimiyah, Majmu' Fatawa,
t.t., t.p. Juz 18, 25.
[11] . Muhammad bin Alwi al-Maliki, al-Manhal
al-Lathif, 66.
[12] . Mahmud al-Thahan, Opcit,
38.
[21] Hajjaj Al-Kathib, Ushul
Al-Hadts Ulumuhu Wa Musththalahuhu.., 273.
[22] Ibid., 275.
[23] Ibid., 276.
[24] Fatchur Rahman, Ikhtisar..,272.
[26] M.Syuhudi Ismail, Metodologi …,
126.
[27] M. Syuhudi Ismail, Hadits
Nabi Menurut Pembela Pengingkar Dan Pemalsunya, (Jakarta: Gema Insane
Press, 1995), 79.
[28]
Muhammad Ajjaj al-Khatib,. Ushul
al-Hadits, (Bairut: Dar al-Fikr, 2006)197
[32]
. Muhammad al-Syamsyi al-Halq
al-Adhim al-Abdy Abi Tayyib, ‘Aunul Ma’buud, (Bairut: Dar al-KItab Ilmi,
Juz XIV, 1415 H), 13
[35]
. Al-Syams,
opcit, 20.
[37]
. Ibn Hajr ‘Asqalaniy, Tahzib al-Tahzib, ( Bairut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, cet. I, 1993, juz VI, 410
Tidak ada komentar:
Posting Komentar