Free Widgets

Selasa, 05 Juni 2012

EFEK DENGKI DALAM SUNAN ABU DAUD


EFEK DENGKI DALAM SUNAN ABU DAUD
No indek 4095
Tugas Mata Kuliah
Praktikum Penelitian Hadits
Oleh:
Muslim Harmaini : E63207002
Muhammad          : E63207003
Dosen Pembimbing :
DRS. MUHID, M.Ag

FAKULTAS   USHULUDDIN
JURUSAN TAFSIR HADITS KELAS AKSELERASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA
2009




BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar belakang masalah
Salah satu penyakit hati yang wajib dijauhi oleh setiap manusia adalah hasud. Imam al-Ghazali menggolongkan penyakit ini dalam kategori penyakit yang sangat berbahaya baik bagi individu yang terhinggap penyakit ini dan juga bagi orang lain yang terkena wabah atau imbas dari penyakit ini. Dalam Al-quran Allah berfirman terkait dengan berlindung dari sifat dengki, seperti yang difirmankan dalam surat al-Falaq: 5:
`ÏBur Ìhx© >Å%tn #sŒÎ) y|¡ym ÇÎÈ
“Dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki."

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abi Daud, Nabi bersabda;
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ صَالِحٍ الْبَغْدَادِىُّ حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ - يَعْنِى عَبْدَ الْمَلِكِ بْنَ عَمْرٍو - حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلاَلٍ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ أَبِى أَسِيدٍ عَنْ جَدِّهِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِيَّاكُمْ وَالْحَسَدَ فَإِنَّ الْحَسَدَ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ ». أَوْ قَالَ « الْعُشْبَ ».
“Telah menceritakan Utsman bin Shalih al-Baghdadiy, menceritakan Abu ‘Amir (‘Abdul Malik bin ‘Amr), menceritakan Sulaiman bin Bilal dari Ibrahim bin Abi Asid dari neneknya dari Abi Hurairah, bahwa Nabi Saw berkata, “Jauhilah dengki, karena dengki dapat menghilangkan kebaikan seperti api yang menghanguskan kayu bakar, dalam satu riwayat dikatakan al-‘Usyb.”

Hadits yang terkait dengan dengki ini juga sering sekali diucapkan oleh para orang-orang alim dan para da’i dalam mengajak umat untuk menjauhi dari sifat-sifat yang dibenci Allah dan salah satunya sifat dengki ini. Namun demikian terkait dengan bisa atau tidaknya hadits ini menjadi hujjah, maka perlu untuk dikaji terkait sahih dan tidak sahih hadits ini. Hal ini juga mengingat pesan dari hadits ini sangat urgen dalam mewujudkan keharmonisan hubungan umat agar tidak saling membenci satu sama lain.

  1. Identifikasi masalah
Dari gambaran permasalahan diatas, penulis ingin mencoba memfokuskan penelitian pada:
1.      Kwalitas hadits tersebut dalam sunan Abi Daud tentang gambaran efek dari hasut.
2.      Kehujjahan hadits tersebut

C.    Rumusan masalah
Dari fokus masalah diatas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang terkait dengan hadits, yaitu:
1.      Bagaimana kwalitas hadits tentang efek dari hasut dalam Sunan Abi Daud nomor indeks. 4093
2.      Bagaimana kehujjahan hadits tersebut?
3.      Mengapa hasud dapat merusak amal kebaikan?

D.    Tujuan penelitian
Penelitian hadits ini adalah sebagai langkah awal dari upaya dalam mengikuti sunnah Nabi secara lengkap tanpa ada lagi keragu-raguan dalam mengamalkan Sunnah Rasulullah sepanjang masa baik secara teoritis maupun secara praktis.

E.     Mamfaat penelitian
Hasil penelitian ini semoga bisa menjadi:
1.      Tambahan khazanah keilmuan ilmu hadits
2.      Sebagai bahan rujukan dalam mengkaji hadits-hadits yang berkembang di masyarakat
3.      Sebagai langkah awal dalam memahami isi Sunnah Rasulullah secara sempurna bagi masyarakat pada umumnya

F.     Kajian Pustaka
Dalam penelitian tentang hadits dalam kitab hadits Sunan Abi Daud juga terdapat literaturnya dalam Sunan Ibn Majah.

G.    Metodelogi penelitian
1.      Sumber data
Sebagai sumber data dalam penelitian ini diamabil dari leteratur-literatur sebagai berikut:
a.       Sumber Primer
Sumber data primer yaitu kitab Sunan Abi Daud karya Sulaiman bin Asy’at bin Syadad bin ‘Amru Azddi Abu Daud al-Sijistani
b.      Sumber Skunder
Sumber data skunder yang meliputi kitab-kitab syarah hadits lain, kitab ulum al-hadits, dan kitab-kitab lain yang pembahasannya baik secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan pembahasan dalam penelitian ini.
2.      Langkah-langkah dalam penelitian
Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah hasil dari menggali dari sumbernya melalui penelitian kepustakaan (library research) yaitu membaca dan menelaah secara mendalam, sehingga mendapatkan hasil secara langsung dari leteratur keilimuan yang ada.
Penelitian ini menggunakan metode takhrij yaitu melalui penelusuran hadits dalam kitab-kitab asli yang bersangkutan.[1]  Melalui penelusuran tersebut, maka akan mendapatkan materi hadits lengkap dengan matan dan sanadnya dan disertai dengan pendekatan kitab-kitab ulum al-Hadits tentunya.
Kemudian metode tersebut dihadapkan dengan penelitian hadits yang menjadi objek penelitian baik dari segi matan dan sanadnya. Dalam upaya menghadapkan hadits objek penelitian, maka diperlukan kitab koleksi hadits dan kitab-kitab atau buku-buku yang terkait dengan penelitian.
Data-data yang sudah ditemukan, kemudian dilakukan pendekatan dengan analisis data (content analisis), yaitu dengan membandingkan teori dan pendapat yang ada, guna mengetahui keaslian dan keabsahan redaksi matan, serta menyajikan kaidah yang diberikan oleh para muhadditsin berupa metode kritik sanad dan matan yang merupakan penerapan pada objek penelitian dengan cara melihat: (1) ketersambungan sanad, (2) kredebelitas perawi, (3) indikasi keberadaan unsur pertentangan subtansi isi pada matan dengan dalil yang lain (tidak syad), (4) tidak mengandung cacat-cacat lain (illat).[2]

H.    Sistematika penulisan
Sistematika dari penulisan karya ilmiah ini selanjutnya akan diuraikan dalam lima bab, dengan rinciannya:
BAB I   : Dalam bab pertama berisikan latar belakang masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kajian pustaka, metodelogi penelitian dan kerangka teoritis, sistematika penulisan.
BAB II : Dalam bab kedua berisikan landasan teori, yaitu terkait dengan pengertian hadits, klasifikasi hadits, dan yang teori yang dibutuhkan dalam penelitian.
BAB III : Dalam bab ketiga berisikan biografi Abi Daud dan yang terkait dengan kapebelitas beliau dalam hadits.
BAB IV : Dalam bab keempat bahasan yang terkait dengan analisa hadits untuk menentukan kehujjahannya.
BAB V   : Penutup (simpulan dan saran-saran)



BAB II
LANDASAN TEORI

  1. Pengertian Hadits
1.      Hadits Shahih 
Kata shohih secara etomologi mengikuti wazan fa'iilun yang terbentuk dari mashdar shihah yang mempunyai arti sehat (tidak sakit). Pemakaian kata shohih yang digunakan pada hadits hanyalah sebuah majaz.[3] Berbagai macam definisi yang diungkapkan oleh para pakar hadits mengenai definisi hadits shohih, akan tetapi pada dasarnya semuanya adalah sama. Menurut Imam Ibnu al-Sholah , hadits shohih adalah:
الصحيح: فهو الحديث المسند، الذي يتصل إسناده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط إلى منتهاه، ولا يكون شاذا، ولا معللاً.
"Hadits Shohih adalah: Hadits yang sanadnya bersambung dengan penukilan oleh orang yang adil lagi dhobith dari orang yang adil lagi dhobith dan seterusnya sampai selesai, tanpa adanya penyimpangan maupun cacat."[4]

Menurut Imam al-Nawawi , yang dinamakan dengan hadits shohih adalah:
وهو ما اتصل سنده بالعدول الضابطين من غير شذوذ ولا علة.
"Hadits shohih adalah: Hadits yang sanadnya bersambung dengan orang-orang yang adil lagi dhobith tanpa adanya penyimpangan dan cacat."[5]

Sebenarnya masih banyak definisi-definisi yang diungkapkan oleh para muhadditstsin, akan tetapi tidak kami paparkan semuanya dalam makalah yang singkat ini. Dari kedua definisi di atas, dapat kita simpulkan, bahwa hadits shohih mempunyai beberapa unsur:
a.       Kesinambungan sanad, yakni isnad dari matan itu. Dengan cara setiap rawinya meriwayatkannya dari gurunya (syeikh) mulai dari awal sanad hingga akhirnya. Dari definisi di atas maka terdapat hadits yang tidak muttasil (bersambung) yaitu; mursal, munqati', mu'dhal dan mu'allaq.
b.      Keadilan rawi, keadilan adalah sifat yang mendorong manusia untuk selalu bertaqwa dan memelihara diri. Dan yang dimaksud dengan hal itu adalah keadilannya dalam menyampaikan riwayat.
c.       Ketelitian sempurna dari rawinya, yang dimaksud dengan ketelitian sempurna ialah kesempurnaan dan kedudukannya pada tingkat yang tinggi. Ketelitian ada dua macam. Pertama, ketelitian hafalan, yaitu apabila ia menetapkan apa yang didengarnya di dalam dadanya, sehingga ia bisa mengingatnya kapan saja bila ia mau. Kedua, ketelitian tulisan, yaitu apabila riwayatnya berasal dari sebuah kitab yang dijaganya dan dikoreksinya.
d.      Tidak ada penyimpangan (tidak syadz), artinya hadits tersebut bukanlah hadits yang syadz (menyimpang). Syadz adalah bertentangannya seorang rawi yang tsiqah dengan rawi yang lebih tsiqah darinya.
e.       Tidak ada cacat, yakni tidak terdapat cacat pada hadits itu. Cacat ialah sifat tersembunyi yang menimbulkan kendala bagi penerimanya, sedangkan lahirnya adalah bersih darinya.[6]
2.      Klasifikasi Hadits Shohih
Hadits shohih dibagi menjadi dua:
a)      Hadits Shohih Lidztihi, yaitu hadits-hadits yang telah memenuhi persyaratan-persyaratan diatas.
b)      Hadits Shohih Lighairihi.*     
Kedlabitan seorang rawi yang kurang sempurna, menjadikan hadits shahih lidzatihi turun nilainya menjadi hadits hasan lidzatihi. Akan tetapi jika kekurangsempurnaan rawi tentang kedlabitannya itu dapat ditutupi, misalnya hadits hasan lidzatihi tersebut mempunyai sanad lain yang lebih dlobith, maka naiklah hadits hasan lidztihi ini menjadi hadits shahih lighairihi. Dengan demikian hadits shohih lighairih dapat didefinisikan sebagai:
مَا كَانَ رُوَاتُهُ مُتَأَخِّراً عَنْ دَرَجَةِ الْحَافِظِ الضَّابِطِ، مَعَ كَوْنِهِ مَشْهُوْراً بِالصِّدْقِ حَتَّي يَكُوْنَ حَدِيْثُهُ حَسَنًا ثُمَّ وُجِدَ فِيْهِ مِنْ طَرِيْقٍ آخَرٍمُسَاوٍ لِطَرِيْقِهِ أَوْ اَرْجَحُ مَا يَجْبُرُ ذَلِكَ الْقُصُوْرَ الْوَاقِعَ فِيْهِ.
"Hadits yang keadaan rawi-rawinya kurang hafidz dan dlabith, tetapi mereka masih terkenal dengan orang yang jujur sehingga hadisnya adalah hasan. Kemudian terdapat hadits dari jalur lain yang rawinya sama atau lebih kuat, sehingga dapat menutupi kekurangan pada hadits itu."[7]
Atau dengan ungkapan yang lebih singkat, hadits shohih lighairihi dapat didefinisikan sebagai hadits hasan lidztihi ketika diriwayatkan dari jalur lain yang nilainya sama atau lebih kuat. Hadits ini dinamakan sebagai shohih lighairihi, karena keshohihan hadits tersebut tidak datang dari esensi sanad, akan tetapi karena berkumpulnya beberapa sanad. Kedudukan hadits shohih lighairih berada di atas hadits hasan lidzatihi dan di bawah hadits shohih lidzatihi.[8]    
2.      Hadits Hasan
a.       Pengertian Hadits Hasan
Sudah menjadi ketentuan bahwa sebagian hadits terpenuhi syarat-syarat diterimanya suatu hadits secara sempurna dan sebagian yang lain tidak terpenuhi syarat-syarat tersebut, baik sebagian atau keseluruhan. Hadits yang telah memenuhi syarat-syarat diterima dinamakan sebagi hadits shohih, sedangkan hadits yang tidak memenuhi dakatakan sebagai hadits dloif.
Ulama yang pertama kali membagi hadits menjadi shohih, hasan dan dloif adalah al-Imam Abu Isa al-Tirmidzi. Beliau banyak menyebutkan hadits hasan dalam kitab sunannya, sehingga para ahli hadits menganggap kitab beliau sebagai Kitab Al-Sunan Al-Asli Fi Ma'rifat Al-Hasan (kitab sunan yang murni mengetahui hadits hasan).[9]
Para ulama sebelum Imam Tirmidzi membagi hadits hanya menjadi dua macam, yaitu  shohih dan dloif. Menurut mereka hadits dloif dibagi menjadi dua; dloif yang tidak dilarang untuk diamalkan (menyerupai hadits hasan menurut istilah Imam Tirmidzi) dan dloif yang wajib untuk ditinggalkan, yaitu hadits yang lemah.[10]
Secara etimologi, hasan merupakan sifat musytabihat dari kata al-husnu yang mempunyai makna al-jamal (bagus/elok/cantik) atau dapat diartikan sebagai sesuatu yang disukai oleh hati.[11]
Mengenai definisi hadits hasan secara terminologi, para ulama terjadi perbedaan pendapat. Hal itu disebabkan karena posisi hadits hasan yang berada diantara hadits shohih dan dloif. Imam al-Khuthobi mendefinisikannya sebagai hadits yang diketahui tempat keluarnya dan terkenal para rawinya. Imam al-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits hasan adalah setiap hadits yang diriwayatkan, pada sanadnya tidak terdapat orang yang tertuduh dusta, tidak terdapat kejanggalan pada matannya dan hadits tersebut diriwayatkan tidak dari satu jalur (mempunyai banyak jalur) yang sepadan maknanya.[12] Sedangkan mayoritas ahli hadits menta'rif hadits hasan sebagai:
مَا نَقَلَهُ عَدْلٌ قَلِيْلُ الضَّبْطِ مُتَّصِلُ السَّنَدِ غَيْرُ مُعَلِّلٍ وَلَا شَاذٍّ.  
"Hadits yang dinukilkan oleh seorang yang adil tapi tidak begitu kokoh ingatannya, bersambung sanadnya, tidak terdapat illat serta kejanggalan pada matannya."

b.      Klasifikasi Hadits Hasan
Hadits hasan terbagi menjadi dua:
a)      Hasan Lidzatihi
Yaitu hadits yang sanadnya bersambung dengan dinukil dari orang adil yang kadlabitannya dibawah derajat perawi hadits shahih serta tidak terdapat kejanggalan dan cacat dalam matannya.[13] Dari keterangan di atas dapat disimpulakan bahwa uraian yang telah disampaikan oleh para muhaddtsin tentang hadits hasan adalah hadits hasan lidzatihi. Kesimpulannya ketika suatu hadits itu dikatakan sebgai hadits hasan, maka yang dimaksud adalah hasan lidzatihi. Syarat-syarat hadits hasan:
1.      Sanadnya bersambung
2.      Para rawinya adil
3.      Para rawinya dlabith. Maksudnya derajat kedlabitannya dibawah rawi hadits shahih
4.      Tidak terdapat syudzudz (kejanggalan dalam matan)
5.      Tidak terdapat illat (cacat dalam matan).
b)      Hasan Lighairihi
Hadits hasan lighairih adalah hadits dloif yang jalurnya banyak (sanadnya dari berbagai jalur) dan sebab kedlaifannya bukan karena kefasikan atau kedustaan seorang rawi. Dari definisi ini dapat diambil suatu kesimpulan bahwa hadits dloif bisa naik derajatnya menjadi hadits hasan lighairihi dengan dua hal:
a.       Hadits tersebut diriwayatkan dari jalur lain, baik kualitas sama atau lebih kuat.
b.      Kedloifan hadits tersebut adakalanya disebabkan karena; buruknya hafalan rawi, terputusnya sanad atau rawinya tidak diketahui biografinya. 
3.      Hadits Dlaif
Secara lughot berasal dari masdar al-Dla'fi atau al-Dlu'fi yang mempunyai arti kebalikan dari kuat.[14] Sedangkan secara istilah, hadits dloif adalah hadits yang didalamnya tidak terpenuhi sifat-sifat hasan, karena tidak terdapat satu atau beberapa syarat hasan.[15] Dalam nadhamnya, Imam al-Baiquni mendefinisikannya sebagai:
وَكُلُّ مَا عَنْ رُتْبَةِ الْحُسْنِ قَصُرْ # فَهُوَ الضَّعِيْفُ وَهُوَ اَقْسَامٌ كَثُرْ
"setiap hadits yang kurang dari derajat hasan, maka hadits itu adalah hdits dhoif dan macamnya banyak."

Hadits-hadits dhoif ditinjau dari sebab kedhaifannya ada beberapa sebabnya:
a.       Karena gugur perawi (putus sanadnya) 
Yang dimaksud dengan gugurnya rawi dari sanad adalah terputusnya silsilah sanad dengan gugurnya satu rawi atau lebih, baik disengaja atau tidak dari sebagian rawi. Gugurnya rawi dibedakan menjadi dua:
a)      Gugur secara dhohir.
Gugurnya rawi semacam ini dapat diketahui oleh para imam ahli hadits dan orang-orang yang menyibukkan diri dengan ulum al-hadits. Hal itu dapat diketahui dari tidak bertemunya rawi dengan gurunya, baik karena masanya berbeda atau semasa, akan tetapi rawi tidak berkumpul dengan gurunya (rawi tidak mendapatkan ijazah maupun wijadah dari gurunya). Para ulama memberi istilah tertentu terhadap hadits-hadits yang rawinya gugur secara dhohir dengan empat nama berdasarkan tempat dan jumlah rawi yang gugur:
1)      Al-Mu'allaq, yaitu hadits-hadits yang rawinya gugur seorang atau lebih dari awal sanad.
2)      Al-Mursal, yaitu hadits-hadits yang rawinya gugur dari akhir sanadnya, seseorang setelah tabi'iy.
3)      Al-Mu'dlal, yaitu hadits-hadits gugur rawi-rawinya, dua orang atau lebih, berturut-turut, baik sahabat bersama tabi'i, tabi'i bersama tabi' al-tabi'in maupun dua orang sebelum shahabiy dan tabi'iy.
4)      Al-munqati', yaitu hadits-hadits yang gugur seorang rawinya sebelum sahabat, di satu tempat, atau gugur dua orang pada dua tempat dalam keadaan tidak berturut-turut.
b)      Gugur secara khofi (samar)
Gugurnya rawi semacam ini hanya bisa diketahui oleh para imam yang menelaah jalur-jalur hadits dan illat-illatnya. Ada dua macam, yaitu:
1)      Al-Mudallis, yaitu hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan bahwa hadits itu tidak terdapat cacat.[16] Al-Mursal al-Khofi, yaitu hadits yang diriwayatkan dari orang yang semasa dengan cara tidak mendengar darinya dengan ungkapan yang memungkinkan antara sima' dan lainnya seperti lafadz qaala.[17]
b.      Karena diluar sanad (dari segi matanhya) 
Terbagi menjadi dua:
a)      Hadits Mauquf
Yaitu berita yang hanya disandarkan sampai kepada sahabat saja, baik yang disandarkan itu perkataan atau perbuatan dan baik sanadnya bersambung maupun terputus.
b)      Hadits Maqthu'
Yaitu perkataan atau perbuatan yang berasal dari seorang tabi'iy serta dimauqufkan padanya, baik sanadnya bersambung maupun tidak.
         B.        Penelitian Hadits
1.      Penelitian Sanad
Kaidah kritik sanad dapat diketahui dari pengertian istilah hadits shahih dari definisi atau pengertian hadits shahih yang disepakati oleh mayoritas ulama hadits dapat dinyatakan unsur-unsur kaidah keshahihan sanad hadits ialah:
a.    Sanadnya bersambung
b.    Perawi bersifat adil
c.    Perawi bersifat dhabit
d.   Terhindar dari syudud
e.    Tidak ada cacat
2.      Penelitian Perawi
Periwayatan suatu hadits dapat diterima apabila periwayat hadits tersebut memenuhi syarat-syarat mutlak sebagai berikut:
1.                                                   Islam
2.                                                   Baligh
3.                                                   Berakal
4.                                                   Tidak fasiq
5.                                                   Muruah (berwibawa)
6.                                                   Hafidh jika meriwayat hadits dengan jalan hafalan
7.                                                   Memahami hadits bila riwayatnya dengan mendengarkan
Jika diantara syarat-syarat diatas gugur salah satunya, maka adil dan tidaknya adalah melalui kemasyhuranya baik, terpuji akhlaknya dan pendapat kebanyakan ulama hadits, atau dua orang serta boleh dengan pernyataann satu orang ulama hadits.[18]
3.      Syarat-Syarat Jarh wa Ta’dil
Perawi yang diterima riwayatnya adalah terpercaya dan dhabit. Terpercaya dan dhabit mempunyai criteria antara lain; Islam, berakal, baligh, selamat dari fasik dan terjaga wibawanya. Keadilan seorang perawi bisa disebabkan masyhur kebaikannya, pujian yang baik kepadanya atau komentar sebagian besar imam hadits atau komentar dua orang ulama hadits atau boleh dengan seorang saja menurut pendapat yang sahih. Ibn Salah berkata dan dikembangkan oleh Ibn ‘Abd Bar, “setiap orang yang mempunyai ilmu dan terkenal aktif dalam hadits maka orang itu adalah adil.
Sedangkan terkait dengan dhabit maka hal itu melalui kesepakatan terpercayanya baik segi lafadh dan makna. Intinya, sifat adil bisa diterima walaupun ada sebabnya atau tidak karena luas cakupannya. Sedangkan jarh harus melalui penafsiran, karena sifat jarh banyak yang berbeda dalam menafsirinya.[19]
Seorang perawi harus mempunyai ilmu, bertaqwa, war’a, jujur, tidak mempunyai sifat yang meruntuhkan adilnya, tidak bertentangan dengan perawi yang lain, mengetahui sebab-sebab jarh wa ta’dil.[20]
4.      Lafadh Jarh wa Ta’dil dan Tingkatannya
Ulama yang pertama kali menentukan peringkat jarh wa ta’dil ialah Abu Muhammad Abdurahman bin Abu Hatim Al-Razy.[21] Yang kemudian disusul oleh ulama hadits lainnya yaitu Adz-Dzahabi, Al-Iraqi, Ibnu Nazar dan lain-lain.[22]
Berikut ini tingkatan ta’dil:
a.       Kata-kata yang menunjukkan intesitas maksimal dalam hal ta’dil, misalnya: ausaqun-nas, adibatun nas, laisa lahu nadzir.
b.      Kata-kata yang berupa kenyataan: fulan laa yasalhu anhu, fulan laa yas’alhu’an mitslihi
c.       Kata-kata yang mempertegas kualitas tsiqah dengan salah satu sifat diantara sekian sifat adil dan tsiqah, baik dengan kata-kata yang sama atau dengan kata yang searti: tsiqah hafidz, tsiqah makmun, tsiqah, tsiqah-tsiqah.
d.      Kata-kata yang menunjukkan sifat adil dengan kata yang mengisyaratkan kedhabitan, misalnya muttaqin, tsabat, adil dhabit, adil imam hujjah.
e.       Kata-kata yang menunjukkan adil, tetapi tidak menunjukkan kedhabitan, misalnya laa ba’sa bihi,makmun, shaduq, malialla shiddiq, shalihul hadits.
f.       Kata-kata yang mendekati nilai cacat ialah shaduq insyaallah,shuaih, syaikh, arsu la ha sabihi, laisa bi ha’id minas shawuh.[23]
Berikut tingkatan-tingkatan lafadz Jarh:
a.      Kata-kata yang menunjukkan tingkatan maksimal dalam hal tarjih: akdabun nas, raknu al-kadzib
b.      Kata-kata yang menunjukkan ketertuduhan periwayat pertama, contoh: kadzab, wadla’
c.       Kata-kata yang menunjukkan ketertuduhan perawi sebagai pembohong, pemalsu atau sejenisnya: yasruqul hadits, wadli, matruq atau laisa bi tsiqah.
d.      Kata-kata yang kedhaifan yang sangat: rudda haditsuhu tharaha haditsu dhaif laisa bihi syai
e.        Kata-kata yang menunjukkan penelitian dhaif pada perawi atau keraguan hafalan: muraharibul hadits, la yahtajju bih dhaif.
f.        Kata-kata yang mensifati perawi dekat dengan sifat yang mengarah pada kedhaifannya, akan tetapi dekat dengan sifat ta’dil: laisa bi dzalik, fihi waqaf laisa bi hujjah, fihi dhaifun.
5.      Pandangan Ulama Tentang Jarh wa Ta’dil
Men-ta’dil atau men-tarjih seseorang perowi itu ada kalanya mubham (tidak disebutkan sebab-sebabnya) dan ada kalanya mufassar (disebutkan sebab-sebabnya). Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang penerima jarh dan ta’dil yang mubham dengan beberapa pendapat antara lain:
a.       Menurut pendapat yang shahih dan mashur, menilai keadilan perawi dapat diterima meskipun tanpa penjelasan sebab-sebabnya karena sebab itu banyak sekali dan sulit menyebutkannya, sedang mentarjih tidak dapat diterima kecuali dijelaskan sebab-sebabnya.[24]
b.      Untuk ta’dil harus disebutkan sebab-sebabnya, tetapi menjarhkan tidak perlu karena sebab-sebab menta’dilkan itu bisa dibuat sehingga harus diterangkan, sedang mentarjihkan tidak.
c.       Untuk kedua-duanya harus disebutkan sebab-sebabnya.
d.      Untuk kedua-duanya tidak perlu disebutkan sebab-sebabnya, sebab si jarh dan mu’taddil sudah mengenal seteliti-telitinya sebab-sebab tersebut.
6.      Pertentangan Antara Jarh wa Ta’dil
Apabila terjadi pertentangan antara Jarh dan adil maka ada beberapa pendapat ulama tentang hal itu:
1.    Mendahulukan Jarh terhadap Ta’dil
2.    Mendahulukan Ta’dil terhadap Jarh apabila yang mengadilkannya lebih banyak
3.    Tawaqquf sehingga datang yang mertarjihkannya.[25]
       C.          Penelitian Matan
Ulama hadits menerangkan tanda-tanda yang berfunsi sebagai tolak ukur bagi matan yang shahih. Sebagian ulama hadits mengemukakan tanda-tanda tersebut sebagai tolak ukur untuk meneliti apakah suatu hadits berstatus palsu ataukah tidak palsu. Ulama hadits memang tidak menjelaskan urutan pengunaan butir-butir tolak ukur yang dikemukakan. Hal itu dapat dimengerti karena persoalan yang perlu diteliti pada berbagai matan memang tidak selalu sama. Jadi, pengunaan butir-butir tolak ukur sebagi penelitian matan disesuaikan dengan masalah yang terdapat pada matan yang bersangkuatan.
Adapun tolak ukur penelitian matan yang telah dikemukakan oleh ulama tidaklah seragam. Al-Khatib Al-Baghdadi menjelaskan bahawa matan hadits yang maqbul ( diterima sebagai hujjah) haruslah:
a.       Tidak bertentangan dengan akal sehat.
b.      Tidak bertentangan dengan hukum Al-Quran yang telah muhkam.
c.       Tidak bertentangan dengan hadits mutawatir.
d.      Tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama masa lalu.
e.       Tidak bertentangan dengan dalil yang sudah pasti.
f.       Tidak bertentangan dengan hadits ahad yang kualitas keshahihannya lebih kuat.[26]
Sedangkan Shalahuddin Al-Adlabi mengemukakan bahwa pokok-pokok tolak ukur penelitian keshahihan matan ada empat macam yakni:
a.       Tidak bertentangan dengan petunjuk Al-Quran.
b.      Tidak bertentangan dengan hadits yang berkualitas lebih kuat.
c.       Tidak bertentangan dengan akal sehat, indera dan sejarah.
d.      Susunan perntyataan menunjukkan cirri-ciri sabda kenabian.[27]
      D.          Kehujjahan Hadits
Sebuah hadits dapat menjadi hujjah (dalil), maka tidak terlepas dari kriteria hadits yang sudah di bagi oleh ahli hadits, yaitu ada hadits sahih, hasan, dan dhaif dari segi kualitas hadits. Namun demikian, dalam klasifikasi hadits dari segi kuantitas perawi dibagikan kepada mutawatir, masyhur, dan ahad. Maka hadits yang kategorinya mutawatir tanpa melakukan tinjauan sanad wajib untuk diamalkan. Sedangkan hadits masyhur yang tingkatannya dibawah mutawatir juga wajib diamalkan menurut Abi Hanifah, karena mendekati kepada yakin. Selanjutnya hadits ahad bila syarat-syaratnya terpenuhi maka menurut jumhur ulama hadits hukumnya wajib diamalkan juga.[28]
Pada intinya bila hadits tersebut memenuhi syarat-syarat kesahihanya, para ulama hadits sepakat untuk dijadikan sebagai hujjah. Terkait dengan hadits hasan juga dapat dijadikan hujjah walaupun hadits tersebut berada dibawah kekuatan hadits sahih, karena ada kemungkinan bila terjadi pertentangan dalam hadits hasan ada hadits sahih yang mendukungnya.[29]
Sedangkan hadits dhaif para ulama berbeda dalam hukum menjadikannya sebagai hujjah, ada tiga penadapat ulama sebagai berikut:
1.      Tidak boleh diamalkan secara mutlak, baik dalam fadhail ‘amal atau hukum
2.      diamalkan secara mutlak
3.      diamalkan hanya pada fadhail ‘amal, pengajaran apabila memenuhi sebagian syarat-syarat yang ada. Menurut Ibn Hajar ada beberapa syarat untuk dapat diamalkan hadits dhaif dalam hal fadhail ‘:
a.       Tidak begitu dhaif
b.      Masuk dibawah pokok dasar suatu yang diamalkan
c.       Tidak menyakini sebaga hujjah (dalil) tetapi hanya sebagai kehatian-hatian saja.[30]


BAB III
ABI DAUD DAN KITAB SUNANNYA

  1. Biografi Abi Daud
Abu Daud adalah Abu Daud Sulaiman ibn Asy’ats ibn Syidad ibn Amar ibnAmir as-Sijistany, (demikian menurut keterangan IbnHatim), seorang ulama hadits yang telah berjasa menyusun kitabnya As-Sunan yang mengumpulkan hadits-hadits hokum. Beliau dilahirkan di Bashrah pada tahun 202 H, dan wafat tahun 275 H. Abu Daud menikah dan mempunyai anak. Salah seorang putra remajanya biasa pergi bersamanya untuk belajar di majlis ulama hadits.
Sebagian besar ulama menyanjung Abu Daud dan mengakui bahwa beliau seorang hafidh yang sempurna, yang mempunyai ilmu yang banyak, war’a dan mempunyai daya paham yang cerdas dalam bidang hadits dan lain-lain.
Beliau antara lain meriwayatkan dari Abdullah ibn Maslamah al-Qa’naby, Abu al-Walid ath-Thayalisi, Utsman ibn Abi Syaibah, Ahmad ibn Hanbal, Yahya ibn Ma’in. sedangkan yang meriwayatkan hadits darinya adalah At-Tirmidzy, An-Nasa’y, Ahmad ibn Muhammad ibn Ziyad al-Araby, dan Abu Ali Muhammad ibn Ahmad ibn Amar al-Lulu’y.[31]
  1. Karangannya antara lain:
1)      Kitab As-Sunan
2)      Masaail Imam Ahmad ibn Hanbal
3)      Ijaabat ‘ala Sualaat al-Ajurry
4)      Risalaat Fi Washf Kitab As-Sunan
5)      Al-Zuhud
6)      Tasmiyaat al-Akhwan Ruwwat Al-Hadits
7)      Kitab Maraasil
8)      Kitab fi Rijaal
9)      Kitab al-Qadar
10)  Kitab al-Naskh
11)  Musnad Malik
12)   Kitab Ashab al-Sya’by.[32]
C.     Kitab Sunan Abi Daud
Al-Kahattaby berkata, “Kitab As-Sunan susunan Abu Daud, adalah kitab pertama yang menerangkan hadits-hadits hokum. Sebagian besar ulama menerima baik kitab As-Sunan itu. Karenanya ia menjadi hakim antara fuqaha yang berlainan mazhab.” Kitab itulah yang dipegang oleh Ulama Iraq, Mesir, Maroko, dan lin-lain.[33]
Banyak komentar telah ditulis atas kitab ini. Yang ada dan terbaik adalah kitab karya Syams al-Haq Azimabadi, berjudul ‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud. Komentar yang sama baiknya adalah Badz al-Majhud fi Hall Abi Daud.[34] Ibn al-‘Araby berkata, “ jika seseorang mampu memahami Alquran dan Kitab As-Sunan Abi Daud maka sudah cukup dalam kehidupan beragamanya.”[35]
Abu Daud dalam menyusun kitab As-Sunannya, ia membagi isi kitabnya dalam tiga bagian:
1.      Sahih, yaitu kebanyakannya dari kitab Al-Bukhary dan Muslim dan isi haditsnya seperti yang ada dalam kedua kitab tersebut.
2.      Sahih menurut kebanyakan Ulama Hadits. Abu Abdullah ibn Mandah berkata: “ sesungguhnya syarat Abi Daud dan Nasa’y adalah mentakhrij hadits-hadits yang sebagian ulama hadits menyepakatinya, apabila hadits itu tidak putus sanadnya dan irsal.
3.      Hadits-Hadits yang sudah ditahkrijkan oleh sebagian besar ulama Hadits untuk kontradiksi dan mereka mentakhrijkannya bukan meyakini bahwa hadits itu sudah sahih, tetapi hanya untuk menjelaskan kecacatannya menurut yang mampu dipahami oleh ahlinya.
Bila ada yang berkomentar, mengapa hadits-hadits yang kontradiksi ditempatkan juga dalam kitab-kitab mereka, maka jawabannya ada tiga:
a.       Sebagian ulama berhujjah dengan hadits itu dan mereka menjelaskan kecacatannya untuk menghilangkan keraguan.
b.      Sebagian ulama Hadits tidak menentukan syarat yang menjadi acuan Al-Bukhari dan Muslim, karena Al-Bukhari berkata: “Saya tidak mentakhrijkan hadits-hadits kecuali hadits yang sahih dan saya tinggalkan dalam kitab Sahih karena terlalu panjang. Muslim berkata: “Tidaklah semua hadits-hadits yang tempatkan dalam kitab ini, tetapi saya takhrijkan seperti yang sudah disepakati oleh kebanyakan ulama. Sedangkan ulama hadits sesudahnya tidak berpendapat seperti itu, tetapi mareka takhrijkan sebuah hadits beserta kontradiksinya.
c.       Kami melihat para fuqaha dan ulama lainnya menempatkan dalil dialog dalam kitab mereka serta mereka mengetahui itu bukan dalil, maka perbuatan Al-Bukhari dan Muslim sama seperti yang dilakukan oleh para fuqaha.[36]
D.    Data Hadits Tentang kecaman terhadap orang yang tidak mau mengajari orang lain nomor indeks 4095
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ صَالِحٍ الْبَغْدَادِىُّ حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ - يَعْنِى عَبْدَ الْمَلِكِ بْنَ عَمْرٍو - حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلاَلٍ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ أَبِى أَسِيدٍ عَنْ جَدِّهِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِيَّاكُمْ وَالْحَسَدَ فَإِنَّ الْحَسَدَ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ ». أَوْ قَالَ « الْعُشْبَ ».
“Telah menceritakan Utsman bin Shalih al-Baghdadiy, menceritakan Abu ‘Amir (‘Abdul Malik bin ‘Amr), menceritakan Sulaiman bin Bilal dari Ibrahim bin Abi Asid dari neneknya dari Abi Hurairah, bahwa Nabi Saw berkata, “Jauhilah dengki, karena dengki dapat menghilangkan kebaikan seperti api yang menghanguskan kayu bakar, dalam satu riwayat dikatakan al-‘Usyb.”

Sebelum melakukan penelitian hadis, terlebih dahulu menentukan hadis yang akan diteliti dan mencari hadis tersebut dari berbagai kitab hadis yang memuat apa yang akan diteliti secara lengkap pencarian hadis tentang Allah Sangat benci perceraian ditempuh melalui 2 kitab takhrij, yaitu:
1.      Menggunakan kitab Mausu’ah Athraf Al-Hadits Al-Naby Al-Syarif dengan kata سُئِلَ ,dalam kitab tersebut terdapat hadits dalam Kitab Sunan Abi Daud. Dan juga terdapat dalam kitab Sunan Ibn Majah.
Adapun penelitian tentang hadits ini, penulis hanya meneliti dalam Kutub As-Sittah saja, dan terdapat beberapa hadits yang lain sebagai berikut:
2.      Dalam Sunan Ibn Majah
حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْحَمَّالُ وَأَحْمَدُ بْنُ الأَزْهَرِ قَالاَ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِى فُدَيْكٍ عَنْ عِيسَى بْنِ أَبِى عِيسَى الْحَنَّاطِ عَنْ أَبِى الزِّنَادِ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « الْحَسَدُ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ وَالصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الْخَطِيئَةَ كَمَا يُطْفِئُ الْمَاءُ النَّارَ وَالصَّلاَةُ نُورُ الْمُؤْمِنِ وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ مِنَ النَّارِ ».

Dalam penelitian sebuah hadits ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yang berkaitan dengan penelitian hadits ini:
3      Sanad dan Matan Hadits

حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ صَالِحٍ الْبَغْدَادِىُّ حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ - يَعْنِى عَبْدَ الْمَلِكِ بْنَ عَمْرٍو - حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلاَلٍ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ أَبِى أَسِيدٍ عَنْ جَدِّهِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِيَّاكُمْ وَالْحَسَدَ فَإِنَّ الْحَسَدَ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ ». أَوْ قَالَ « الْعُشْبَ ».

4.      Skema Sanad Abi Daud
























5.      I’tibar
Melihat dari jalur para perawi mulai dari Abi Daud, maka Abi Daud menjadi syahid bagi hadits yang diriwayatkan oleh Dailami dari Muawiyyah bin Haidah dalam hadits efek hasud yang berbunyi الحسد يفسد الآيمان. Terkait dengan jalur sanad hadits Abi Daud ini terdapat ketidak jelasan pada perawi Ibrahim bin Abi Asid yang meriwayatkan hadits dari neneknya, tetapi neneknya tersebut tidak ada ahli hadits yang mengetahui siapa yang pasti neneknya tersebut. Sedangkan Ibn Majah bisa menjadi syahid bagi Abi Daud walaupun dalam jalur rawinya terdapat salah satu perawi yaitu ‘Isa bin Abi ‘Isa al-Hannath yang menurut komentar ahli hadits ia adalah termasuk dalam orang yang matruk al-Hadits dan mungkar al-Hadits. Melihat dari gambaran seperti ini, maka kedua hadits ini dari segi sanadnya tidak bisa dikategorikan kepada sahih karena terdapat kecacatan pada perawinya. Namun demikian, hadits ini walaupun dhaif karena ada factor-faktor yang mencacatkannya, tetapi bisa digolongkan dalam kategori dhaif yang maqbul ma’mulun bihi, karena kelemahannya bukan disebabkan oleh hal-hal yang sangat fatal. Tetapi bila dhaifnya disebabkan oleh hal-hal yang sangat fatal, misalnya perawi tertuduh pendusta, pembohong, fasiq, maka dhaif hadits macam ini tidak bisa didukung oleh factor pendukung yang lain sama sekali. Kalau perawi dalam sanadnya Abi Daud perawinya umumnya dinilai tsiqoh dan jujur hanya jalur Ibrahim bin Abi Asid yang di majhulkan tentang neneknya tempat ia meriwayatkan hadits.
6.      Kritik sanad/Jarh wa Ta’dil
Dalam melakukan upaya kritik sanad, maka perlu melihat jalur setiap perawi hadits yang bersangkutan untuk melihat ada da tidak terjadi ketersambungan sanad periwayatannya sehingga bisa ditentukan hadits tersebut shahih ataupun tidak.
1.      Utsman bin Shalih al-Baghdady
Utsman bin Shalih bin Said al-Khiyath al-Khalaqani, Abu al-Qasim al-Marwazi. Ia termasuk dalam tabi’-tabi’in pada tingkatan kesebelas dan meninggal pada tahun 256 H. gurunya antara lain adalah Abu Amir, Muhammad bin Umar al-Waqidi. Muridnya antara lain; Abi Daud, dan lain-lain. Ibn Hajar dalam Tahzib al-Kamal karya al-MIzzi berkata, Utsman bin Shalih al-Bahgdadi adalah termasuk dalam orang yang tsiqoh. Al-MIzzi dalam Tahzib al-Kamal mengatakan, Ibn Hibban dalam kitab As-Tsiqqot nya berkata, bahwa Utsman bin Shalh al-Baghdady termasu orang yang tsiqqoh. Model periwayaannya dengan  ثنا.
2.      Abu ‘Amir
Abu Amir adalah Abdul Malik bin Amir al-Qais, Abu Amir al-‘Aqdy al-Bashri. Ia termasuk dalam tabi’ tabiin pada tabaqat kesembilan dan meninggal pada tahun 204/205 H. gurunya antara lain adalah Sulaiman bin Bilal, Sulaiman bin Mughirah. Muridnya antara lain; Utsman bin Shalih al-Baghdady dan lain-lain. Ibn Hajar dan Az-Zahabi dalam Thzib al-Kamal mengatakan bahwa, Abdul Malik bin Umar termasuk orang yang tsiqoh dan hafidh. Al-Mizzi berkata dalam Tahzib al-Kamal, Abu Hatim menilai Abdul Malik bin Umar adalah orang yang jujur. Ibn Hajar dalam Tahzib al-Tahzib berkata, Ibn Sa’ad menilainya orang yang tsiqoh.[37] Model periwayatannya dengan ثنا
3.      Sulaiman bin Bilal
Sulaiman bin Bilal al-Qurais al-Taimi. Ia termasuk dalam Tabi’-tabi,in pada tabaqot kedelapan. Ia meninggal pada tahun 177 H. Gurunya antara lain adalah Ibrahim bin Abi Asid, Bardan bin Abi Nadr dan lain-lain. Muridnya diantaranya; Abu Amir, Ziad bin Yunus, dan lain-lain. Ibn Hajar dan al-Zahabi dalam Tahzib al-Kamal menilai Sulaiman bin Bilal adalah Tsiqoh dan Imam. Al-Mizzi dalam Tahzib al-Kamal berkata, Abu Thalib dari Ahmad bin Hambal berkata bahwa Sulaiman bin Bilal termasuk dalam kategori بأسلا. Model periwayatannya dengan عن.
4.      Ibrahim bin Abi Asid
Ibrahim bin Abi Asid al-Barrad al-Madany adalah tabi’ tabi’in pada tabaqot yang ketujuh. Gurunya antaranya neneknya. Muridnya antaranya adalah Sulaiman bin Bilal, Abu Dhamroh Anas bin ‘Iyadh al-Layits. Ibn Hajar dan Al-Zahabi menilai Ibrahim bin Abi Asid dengan orang yang jujur dan seorang guru. Model periwayatannya dengan عن.
5.      Abi Asid
Abi Asid adalah neneknya Ibrahim bin Abi Asid. Ia termasuk dalam tabaqot ketiga dari tabi’in. Ibn Hajar dalam Tahzib al-Kamal berkata, terkait dengan sifat-sifatnya tidak ada yang mengetahuinya. Model periwayatannya dengan عن.
6.      Abu Hurairah
Abu Hurairah al-Dusiy al-Yamani adalah seorang sahabat yang hafidh. Ia termasuk seorang sahabat dalam tabaqat pertama dan meninggal pada tahun 57 H. ia berguru antaranya pada Nabi, Umar ibn al-Khattab, Utsamah ibn Zaid. Muridnya antara lain Anas ibn Malik, Ismail ibn Ibarahim. Periwayatannya dengan أن.
7.      Ahmad bin al-Azhar
Ahmad bin al-Azhar bin Mani’ bin Salith bin Ibrahim al-‘Abdiy al-Naisaburiy. Ia termasuk dalam kalangan tabi’-tabi’in pada tabaqot kesebelas. Ia meninggal pada tahun 263 H. ia  meriwayatkan hadits antara lain pada Muhammad bin Ismail bin Abi Fudaik, Abi Muslim Abdurrahman bin Waqid al-Waqidiy. Muridnya antara lain adalah an-Nasaiy, Ibn Majah.
8.      Harun bin Abdullah al-Hammal
Harun bin Abdullah bin Marwan al-Bahgdady, Abu Musa al-Bazzaz al-Hafidh yang terkenal dengan al-Hammal. Ia termasuk dalam kelompok tabi’-tabi;in pada tingkatan kesepuluh dan meningggal pada tahun 243 H. ia meriwayat hadits antara lain dari Said bin Sulaiman al-Washithi, Abi Daud Sulaiman al-Thayalisi, Ibn Abi Fudaik. Yang meriwayatkan hadits darinya antara lain; Abu Zar’ah, Jama’ah Mukharrij hadits selain al-Bukhari. Ibn Hajar dan al-Zahabi berkata, ia termasuk orang tsiqoh dan hafidh. Model periwayatannya dengan ثنا
9.      Ibn Abi Fudaik
Ibn Abi Fudaik adalah Muhammad bin Ismail bin Muslim bin Abi Fudaik. Ia termasuk dalam tabi’-tabiin pada tabaqot kedelapan dan meninggal pada tahun 200 H. ia meriwayat hadits pada Isa bin Abi Isa al-Hannath, Ismail  bin Muslim Abi Fudaik. Muridnya antara lain; Ahmad bin Shalih al-Mishri, Harun bin Abdullah al-Hammal. Ibn Hajar dan al-Zahabi menilainya dengan orang yang jujur. Ibn Hajar dalam Tahzib al-Tahzibnya ia berkata, Ibn Main menilainya dengan tsiqoh. Ibn Saad berkomentar, bahwa Ibn Abi Fudaik orang yang banyak meriwayatkan hadits tetapi tidak bisa menjadi hujjah. Model periwayatannya dengan عن.
10.  Isa bin Abi Isa al-Hannath
Isa bin Abi Isa Al-Hannath, Abu Musa al-Madini. Ia hidup pada masa tabi’in dan berada pada tingkatan keenam. Ia meninggal pada tahun 151 H dan ada yang berpendapat sebelum itu. Ia meriwayatkan hadits diantara lain dari; Anas bin Malik, Abi Zannadz, Musa bin Malik bin Anas. Muridnya antara lain; Ibn Abi Fudaik, Hatim bin Ismail. Ibn Hajar dan al-Zahabi menilainya denganمتروك  dan banyak yang mendhaifkan riwayatnya. Al-Mizzi dalam Tahzib al-Kamal berkata, ‘Amr bin Ali mendengar dari Yahya bin Said berkata, bahwa Isa bin Abi Isa termasuk dalam munkar al-Hadits dan mempunyai hafalan yang buruk. Ibn Hajar dalam Tahzib al-Tahzib berkata, An-Nasai berkomentar bahwa ia tidak tsiqoh dan tidak pernah menulis hadits. Model periwayatannya dengan عن.
11.  Abi Zannad
Abi Zannath adalah Abdullah bin Zakwan al-Qursyi, Abu Abdurrahman al-Madini yang terkenal dengan Abu Zannath. Ia termasuk dalam kelompok tabi’in pada tabaqot yang kelima. Ia meninggal pada tahun 130 H dan ada yang mengatakan sebelum itu. Ia meriwayatkan hadits diantaranya pada Anas bin Malik, Abidullah bin Abdullah bin Atabah. Muridnya antara lain adalah Sufyan bin Uyainah, Sufyan al-Tsauri, Isa bin Abi Isa al-Hannath. Ibn Hajr dan al-Zahabi menilainya dengan tsiqoh yang faqih. Al-Mizzi dalam Tahzib al-Kamal ia berkata, Abdullah bin Ahmad bin Hambal berkomentar bahwa Abi Zannath adalah orang yang tsiqoh. Model periwayatannya dengan عن.
12.  Anas ibn Malik
Anas bin Malik bin Nadhr bin Dhamdham bin Zaid bin Harm bin Jundab bin Amir bin Ghanam bin ‘Addi bin Najjar al-Anshari al-Najjari, Abu Hamzah al-Madini. Beliau salah satu sahabat pada tingkatan pertama. Ia meninggal pada tahun 92/93 H. ia meriwayatkan hadits diantaranya pada Rasulullah Saw, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Abbas, dan lain-lain. Muridnya antara lain adalah Ibrahim bin Maisaroh, Anas bin Sirrin, Abi Zannath, dan lain-lain. . Periwayatannya dengan أن.



BAB IV
KUALITAS HADITS TENTANG EFEK DARI HASUD

  1. Kualitas Sanad
Meneliti jalur sanad adalah suatu hal yang sangat penting untuk mengetahui kualitas sebuah hadits dan bisa atau tidak hadits tersebut dijadikan hujjah (dalil) dalam mengamalkannya. Hadits yang ditakhrij oleh Abi Daud ini adalah termasuk dalam kategori dhaif disebabkan oleh tidak terdeteksi salah satu perawi dari jalur Ibrahim bin Abi Asid, sehingga ia digolongkan dalam bagian hadits munqati’ karena majhul salah satu perawinya. Namun demikian, hadits ini bisa dimasukkan dalam hadits maqbulbih ma’mulbih, karena bisa didukung oleh factor yang lain yang bisa memperkuatnya, sehingga hadits ini berada pada tingkat hasan li ghairihi.
  1. Kualitas Matan Hadits
Melihat dari segi matannya yang tidak terjadi kecacatan dan syudud serta tidak menentang dengan isi Alquran dan juga terdapat hadits lain yang berbicara terkait dengan efek dari penyakit hasud, maka dari segi matannya bisa menjadi salah satu pendukung untuk mengkategorikan hadits ini baik dari sisi matannya.
  1. Kehujjahan Hadits
Dari deskriptif analisa terkait sanad dan matan hadits efek dari hasud, maka hadits tersebut bisa dijadikan hujjah sebagai syariat bagi individu yang akan menyempurnakan amalan ibadahnya tanpa digerogoti oleh penyakit hasud ini sekaligus juga bisa menciptakan hubungan yang baik antara satu dengan lainnya, karena penyakit hasud ini sangat berbahaya baik bagi pemiliknya maupun terhadap orang lain.
  1. Kajian tentang hasud
Orang yang dengki mempunyai dua kerugian, kerugian pertama ia berdosa karena menyakiti orang lain, yang kedua ia tanpa disadari telah menyerahkan amal baiknya kepada orang yang didengkinya.


BAB V
PENUTUP DAN KESIMPULAN

  1. Simpulan
Setelah melewati penelitian hadits ini melalui sanad dan matannya, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1)        Jalur sanad hadits yang di takhrij oleh Abi Daud adalah jalur hadits yang sampai kepada Rasulullah, walaupun dari segi perawinya terdapat kekurangan dari beberapa orang dalam hal kedhabitannya yang tidak sampai pada tingkat kedhabitan yang sempurnatetapi dari segi ketsiqohan dan kepercayaannya diakui oleh para komentator ahli hadits.
2)        Hadits yang di takhrij oleh Abu Daud dengan kategori Hasan dan Shahih karena didukung oleh sanad yang lain, maka hadits ini bisa digolongkan sebagai hadits ma’mulun bihi sebagai pengamalan dalam kehati-hatian dan pegangan bagi setiap ahli ilmu.
  1. Saran-saran
Setiap usaha manusia yang serba kekurangan tentunya dan pasti ada kekurangan-kekurangan. Kekurangan inilah akan menjadi kewajiban insan yang lain untuk menyempurnakan atau menutupinya.maka penelitian penulis masih banyak kekurangannya ini dimohonkan diberikan masukan yang positif untuk lebih selektif lagi dalam mengkaji ilmu yang berkaitan dengan penelitian hadits khususnya.

DAFTAR PUSTAKA

al-Halq al-Adhim al-Abdy Abi Tayyib, Muhammad al-Syamsyi, ‘Aunul Ma’buud, Bairut: Dar al-Kitab Ilmi, Juz XIV, 1415 H
Azami, M. M., Memahmi Ilmu Hadits, Jakarta: Lentera, 2003
Ajjaj al-Khatib, Muhammad,. Ushul al-Hadits, Bairut: Dar al-Fikr, 2006
al-Maliki, Muhammad bin Alwi, al-Manhal al-Lathif, tt.tp
al-Thahan Mahmud, Taysir Musthalah Hadits, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
al-Maliki, Muhammad bin Alwi, al-Manhal al-Lathif, Jeddah: Mathabi' Sahar, 1982
al-Thohan, Mahmud, Taysir Musthalah al-Hadits, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.)
al-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar, Tadrib al-Rawi, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2002
al-Lahim, Ibrahim, Syarah Ikhtisar Ulum al-Hadits, tt.tp,juz I 242
al-Asqalaniy, Ibn Hajar, Tahzib al-Tahzib, Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1993, cet.I
Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalah al-Hadits, Bandung: al-Maarif, tt
Hajjaj Al-Kathib Muhammad, Ushul Al-Hadts Ulumuhu Wa Musththalahuhu.., tt.tp
Ismail M. Syuhudi, Hadits Nabi Menurut Pembela Pengingkar Dan Pemalsunya, Jakarta: Gema Insane Press, 1995
Ibn Katsir, Al-Ba’its al-Hatsits fi Ikhtisar ulum al-Hadits, tt.tp
Ibnu Taimiyah, Majmu' Fatawa, t.t., t.p. Juz 18
Ibnu al-Sholah, Muqaddimah Ibnu al-Sholah, tt.tp
Ismail M. Syuhudi, Jakarta, Metodelogi Penelitian Hadits: Sebuah Tawaran Metodelogis, Bulan Bintang, 1992
Zuhri, Muhammad, Yogyakarta, Telaah Matan Hadits: Sebuah penawaran Metodelogis, Lesfi, 2003





[1] . M. Syuhudi Ismail, (Jakarta, Metodelogi Penelitian Hadits: Sebuah Tawaran Metodelogis, Bulan Bintang), 1992, hal 43.
[2] . Muhammad Zuhri, (Yogyakarta, Telaah Matan Hadits: Sebuah penawaran Metodelogis, Lesfi), 2003, hal. 396.
[3] . Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2002), 27.
[4] . Ibnu al-Sholah, Muqaddimah Ibnu al-Sholah, (tt.tp) 1.
[5] . al-Suyuthi, Opcit, 27.
[6] . Muhammad bin Alwi al-Maliki, al-Manhal al-Lathif, (Jeddah: Mathabi' Sahar, 1982), 58-59. Mahmud al-Thohan, Taysir Musthalah al-Hadits, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), 30.

[7].  Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalah al-Hadits, (Bandung: al-Maarif), 124.
[8] . Mahmud al-Thahan, Taysir Musthalah Hadits, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), 42.

[9] .  Muhammad Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, (Beirut: Dar al-Fikr, 2006), 218.
[10] . Ibnu Taimiyah, Majmu' Fatawa, t.t., t.p. Juz 18, 25.
[11] . Muhammad bin Alwi al-Maliki, al-Manhal al-Lathif, 66.
[12] . Mahmud al-Thahan, Opcit, 38.
[13] . Muhammad bin Alwi al-Maliki, Opcit , 66.
[14] . Ibid, 72.
[15] . Mahmud al-Thahan, Opcit, 52.
[16] . Fathurahman, Opcit,204-224.
[17] . Mahmud al-Thahan, Opcit, 71.
[18] Ibrahim al-Lahim, Syarah Ikhtisar Ulum al-Hadits, (tt.tp),juz I 242
[19] Ibn Katsir, Al-Ba’its al-Hatsits fi Ikhtisar ulum al-Hadits, (tt.tp)11
[20] Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul al-HAdits, (Bairut:Dar al-Fikr, 2006)173
[21] Hajjaj Al-Kathib, Ushul Al-Hadts Ulumuhu Wa Musththalahuhu.., 273.
[22] Ibid., 275.
[23] Ibid., 276.
[24] Fatchur Rahman, Ikhtisar..,272.
[25] Ibid, 174
[26] M.Syuhudi Ismail, Metodologi …, 126.
[27] M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela Pengingkar Dan Pemalsunya, (Jakarta: Gema Insane Press, 1995), 79.
[28] Muhammad Ajjaj al-Khatib,. Ushul al-Hadits, (Bairut: Dar al-Fikr, 2006)197
[29] Ibid, 333
[30] Ibid 351
[31] . Ibid. 255
[32] . Muhammad al-Syamsyi al-Halq al-Adhim al-Abdy Abi Tayyib, ‘Aunul Ma’buud, (Bairut: Dar al-KItab Ilmi, Juz XIV, 1415 H), 13
[33] . Ibid. 17
[34] . M. M. Azami, Memahmi Ilmu Hadits, (Jakarta: Lentera, 2003), 173
[35]Al-Syams, opcit, 20.
[36] . Ibid, 24
[37] . Ibn Hajr ‘Asqalaniy, Tahzib al-Tahzib, ( Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, cet. I, 1993, juz VI, 410

Tidak ada komentar:

Posting Komentar