Free Widgets

Selasa, 05 Juni 2012

MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK SOSIAL YANG PENUH KONFLIK


 MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK SOSIAL YANG PENUH KONFLIK

MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Bimbingan dan Konseling



  
Oleh:
  Muhammad          : E63207003

Dosen Pembimbing :
Drs.Muhammad akhyar


FAKULTAS   USHULUDDIN
JURUSAN TAFSIR HADITS KELAS AKSELERASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL


SURABAYA
2009





BAB I
PENDAHULUAN


Manusia mulai dari lahir sampai mati sebagai anggota masyarakat, mereka saling bergaul dan berinteraksi, karena mempunyai nilai-nilai, norma, cara-cara dan prosedur yang merupakan kebutuhan bersama. Demikian, bahwa hidup dalam masyarakat berarti adanya interaksi sosial dengan orang-orang di sekitar dan dengan demikian mengalami pengaruh dan mempengaruhi orang lain. Interaksi sosial sangat utama dalam setiap masyarakat.
Dengan demikian dapatlah dikemukakan bahwa masyarakat merupakan kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat kontinu dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama.[1]
Sedangkan masyarakat merupakan satuan lingkungan social yang bersifat makro. Agak berbeda dengan penegrtian komunitas, sebab aspek kriterium pada sebuah masyarakat kurang ditekankan. Namun aspek-aspek keteraturan social dan wawasan hidup kolektif memperoleh bobot yang lebih besar pula, sebab kedua aspek itu menunjukkan pada derajat integrasi masyarakat dan tingkat keorganisasiannya. Dalam konteks yang lebih luas dan komprehensif, masyarakat pada umumnya dipandang dari sudut sosiologi.
Masyarakat dikatakan bersifat makro, sebab terdiri dari sekian banyak komuniti, dan masing-masing komuniti dengan karakteristik yang mungkin berbeda. Sedangkan setiap komuniti juga sekaligus mencakup berbagai macam keluarga dan lembaga, yang pada hakekatnya terdiri dari individu-individu.[2]






BAB II
PEMBAHASAN


A. Lingkungan dan Kehidupan Sosial
Apabila manusia dibandingkan dengan makhluk hidup lainnya seperti hewan, dia tidak akan dapat hidup sendiri. Seekor anak ayam, walaupun tanpa induk, mampu mencari makan sendiri, demikian pula hewan-hewan lainnya seperti kucing, harimau, gajah dan sebagainya. Manusia-manusia lainnya pasti akan mati. Bayi misalnya, harus makan, berjalan, bermain, main dan lain sebagainya.[3]
Di dalam hubungan antara manusia dengan manusia lain, yang agaknya paling penting adalah reaksi yang timbul sebagai akibat hubungan-hubungan tadi. Reaksi tersebutlah yang menyebabkan tindakan seseorang menjadi bertambah luas. Misalnya, kalau seseorang menyanyi, dia memerlukan reaksi, entah yang berwujud pujian atau celaan yang kemudian merupakan dorongan bagi tindakan-tindakan selanjutnya. Di dalam memberikan reaksi tersebut ada suatu kecenderungan manusia untuk memberikan keserasian dengan tindakan-tindakan orang lain. Mengapa? Oleh karena sejak dilahirkan, manusia sudah mempunyai dua hasrat atau keinginan pokok yaitu:
1.      keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lain di sekelilingnya (yaitu mayarakat).
2.      keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam sekelilingnya.
Untuk dapat menghadapi dan menyesuaikan diri dengan kedua lingkungan tersebut di atas, manusia menggunakan pikiran, perasaan, dan kehendaknya. Di dalam menghadapi alam sekelilingnya seperti udara yang dingin, alam yang kejam dan lain sebagainya, manusia menciptakan rumah, pakaian dan lain-lain.[4]
Seorang Sosiolog, di dalam menelaah masyarakat manusia akan banyak berhubungan dengan kelompok-kelompok social, baik yang kecil seperti misalnya kelompok keluarga, ataupun kelompok-kelompok besar seperti masyarakat desa, masyarakat kota, bangsa dan lain-lain. Sebagai Sosiolog, dia sekaligus merupakan anggota salah satu kelompok social dan akan kian sadar bahwa sebagian dari kepribadiannya terbentuk oleh kehidupan berkelompok dan dia hanya merupakan unsur yang mempunyai kedudukan dan peranan yang kecil.
Suatu kelompok social cenderung untuk menjadi kelompok yang statis, akan tetapi selalu berkembang serta mengalami perubahan-perubahan baik dalam aktivitas maupun bentuknya. Kelompok tadi dapat menambahkan alat-alat perlengkapan untuk dapat melaksanakan fungsi, fungsinya yang baru di dalam rangka perubahan-perubahan yang dialaminya, atau bahkan sebaliknya dapat mempersempit ruang lingkupnya.[5]
Manusia mempunyai naluri untuk senantiasa berhubungan dengan sesamanya. Hubungan yang sinambung tersebut menghasilkan pola pergaulan yang dinamakan pola interaksi social. Pergaulan tersebut menghasilkan pandangan-pandangan mengenai kebaikan dan keburukan. Pandangan-pandangan tersebut merupakan nilai-nilai manusia, yang kemudian sangat berpengaruh terhadap cara dan pola berpikirnya. Kalau, misalnya, seseorang memberikan tekanan yang kuat kepada factor kebendaan, maka berpikirnya cenderung bersifat materialistis.

B. Problem Masyarakat dan Solusinya dalam Keagamaan

1. Konflik di Masyarakat
Konflik sebagai suatu gejala social, akan kita dapatkan dalam kehidupan bersama. Artinya konflik merupakan gejala yang bersifat universal. Tidak ada kehidupan bersama tanpa adanya konflik, baik pada skala besar maupun skala kecil. Baik menyangkut konflik antar individu, antar kelompok maupun antara individu dengan kelompok.
Konflik berskala kecil akan menyebabkan sedikit orang dalam konflik tersebut dan tidak akan mencakup area yang luas. Konflik antar individu, konflik dalam keluarga adalah konflik berskala kecil. Konflik antar suku dan konflik antar Negara merupakan konflik berskala besar yang cakupan areanya sangat luas dan menyebabkan semakin banyaknya orang yang terlibat dalam konflik tersebut. Disamping berdasarkan skala besar kecilnya konflik.[6]
Dalam wacana, teori konflik beranggapan bahwa masyarakat adalah suatu keadaan konflik yang berkesinambungan di antara kelompok dan kelas serta berkecenderungan ke arah perselisihan, ketegangan, dan perubahan. Yang harus digarisbawahi pada pernyataan ini adalah “masyarakat”. Tampaknya masyarakat menjadi lahan yang tumbuh suburnya konflik. Bibitnya bisa bermacam-macam faktor; ekonomi, politik, social, bahkan agama. Oleh karena itu, pada sisi ini, agama bisa saja menjadi salah satu faktor timbulnya konflik yang ada di masyarakat.[7]
Pada dasarnya, apabila merujuk kepada al-Quran, banyak indikasi yang menjelaskan adanya faktor konflik yang ada di masyarakat. Secara tegas, alquran menyebutkan bahwa factor konflik itu sesungguhnya berawal dari manusia. Misalnya, dalam surat Yusuf ayat 5 dijelaskan tentang adanya kekuatan pada diri manusia yang selalu berusaha menarik dirinya untuk menyimpang dari nilai-nilai dan norma Ilahi. Atau secara lebih tegas, disebutkan bahwa kerusakan--bisa berbentuk kerusuhan, demonstrasi, dan lain-lain--diakibatkan oleh tangan manusia; seperti dalam surat Rum ayat 41. Ayat-ayat ini bisa dijadikan argumentasi bahwa penyebar konflik sesungguhnya adalah manusia.

2. Solusi atas Konflik yang Terjadi di Masyarakat
Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Begitu juga konflik yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Baik itu konflik yang sifatnya social, politik bahkan keagamaan. Oleh karena itu, dalam setiap agama, ada istilah “dakwah”, meskipun dalam bentuk yang berbeda. Dakwah merupakan upaya mensosialisasikan (mengajak, menyeru) ajaran agama. Bahkan tidak jarang masing-masing agama akan berhadapan satu sama lain dalam menegakkan hak kebenarannya. Ini yang memunculkan adanya sentimen agama. Maka tidak mustahil benturan pun sulit dihindarkan. Sehingga terjadi hal-hal yang tidak dinginkan di masyarakat seperti tawuran antar-warga dan semacamnya.
Laporan dari berbagai medan konflik di seluruh dunia justru menyebutkan masyarakat setempat – pimpinan adat, tokoh agama,– memiliki peran yang sangat menentukan. Tentu tidak dengan menjadi pagar hidup pasang dada ketika para pihak yang bertikai saling berhadapan dengan senjata terhunus. Tidak juga dengan khotbah atau pidato berapi-api dan menyerukan gencatan senjata.[8]






BAB III
PENUTUP


Kesimpulan

Dari pembahasan dapat disimpulkan bahwa:
1.      Masyarakat merupakan kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu system adapt-istiadat tertentu yang bersifat kontinu dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama.
2.      Konflik social di masyarakat memang lumrah terjadi karena kondisi masyarakat yang kompleks. Yang dalam kesehariannya pasti ada gesekan-gesekan kecil yang akan menimbulkan konflik.
3.      Masyarakat setempat – pimpinan adat, tokoh agama, dll– memiliki peran yang sangat penting dalam pengendalian konflik yang terjadi di masyarakat. Sehingga keberadaan mereka sangatlah dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat.





DAFTAR PUSTAKA

Wahyu Ms, Wawasan Ilmu Sosial Dasar, Usaha Nasional, Surabaya
Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Press, Jakarta
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, Rosda, Bandung
http://wangmuba.com
http://www.syarikat.org




[1] Wahyu Ms, Wawasan Ilmu Sosial Dasar, (Surabaya:Usaha Nasional), 60.
[2] Ibid, 66
[3] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Press), 114
[4] Ibid, 115
[5] Ibid, 116
[6] http://wangmuba.com
[7] Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: Rosda), 148
[8] http://www.syarikat.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar