MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK SOSIAL YANG PENUH KONFLIK
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Bimbingan dan Konseling
Oleh:
Muhammad : E63207003
Dosen Pembimbing :
Drs.Muhammad akhyar
FAKULTAS
USHULUDDIN
JURUSAN TAFSIR HADITS KELAS AKSELERASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2009
BAB
I
PENDAHULUAN
Manusia mulai dari lahir sampai mati sebagai anggota masyarakat,
mereka saling bergaul dan berinteraksi, karena mempunyai nilai-nilai, norma,
cara-cara dan prosedur yang merupakan kebutuhan bersama. Demikian, bahwa hidup
dalam masyarakat berarti adanya interaksi sosial dengan orang-orang di sekitar
dan dengan demikian mengalami pengaruh dan mempengaruhi orang lain. Interaksi
sosial sangat utama dalam setiap masyarakat.
Dengan demikian dapatlah dikemukakan bahwa masyarakat
merupakan kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat
tertentu yang bersifat kontinu dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama.[1]
Sedangkan masyarakat merupakan satuan lingkungan social
yang bersifat makro. Agak berbeda dengan penegrtian komunitas, sebab aspek
kriterium pada sebuah masyarakat kurang ditekankan. Namun aspek-aspek
keteraturan social dan wawasan hidup kolektif memperoleh bobot yang lebih besar
pula, sebab kedua aspek itu menunjukkan pada derajat integrasi masyarakat dan
tingkat keorganisasiannya. Dalam konteks yang lebih luas dan komprehensif,
masyarakat pada umumnya dipandang dari sudut sosiologi.
Masyarakat dikatakan bersifat makro, sebab terdiri dari
sekian banyak komuniti, dan masing-masing komuniti dengan karakteristik yang
mungkin berbeda. Sedangkan setiap komuniti juga sekaligus mencakup berbagai
macam keluarga dan lembaga, yang pada hakekatnya terdiri dari individu-individu.[2]
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Lingkungan
dan Kehidupan Sosial
Apabila manusia dibandingkan dengan makhluk hidup
lainnya seperti hewan, dia tidak akan dapat hidup sendiri. Seekor anak ayam,
walaupun tanpa induk, mampu mencari makan sendiri, demikian pula hewan-hewan
lainnya seperti kucing, harimau, gajah dan sebagainya. Manusia-manusia lainnya
pasti akan mati. Bayi misalnya, harus makan, berjalan, bermain, main dan lain
sebagainya.[3]
Di dalam hubungan antara manusia dengan manusia lain,
yang agaknya paling penting adalah reaksi yang timbul sebagai akibat
hubungan-hubungan tadi. Reaksi tersebutlah yang menyebabkan tindakan seseorang
menjadi bertambah luas. Misalnya, kalau seseorang menyanyi, dia memerlukan
reaksi, entah yang berwujud pujian atau celaan yang kemudian merupakan dorongan
bagi tindakan-tindakan selanjutnya. Di dalam memberikan reaksi tersebut ada
suatu kecenderungan manusia untuk memberikan keserasian dengan
tindakan-tindakan orang lain. Mengapa? Oleh karena sejak dilahirkan, manusia
sudah mempunyai dua hasrat atau keinginan pokok yaitu:
1.
keinginan untuk menjadi satu
dengan manusia lain di sekelilingnya (yaitu mayarakat).
2.
keinginan untuk menjadi satu
dengan suasana alam sekelilingnya.
Untuk dapat menghadapi dan menyesuaikan diri dengan
kedua lingkungan tersebut di atas, manusia menggunakan pikiran, perasaan, dan
kehendaknya. Di dalam menghadapi alam sekelilingnya seperti udara yang dingin,
alam yang kejam dan lain sebagainya, manusia menciptakan rumah, pakaian dan
lain-lain.[4]
Seorang Sosiolog, di dalam menelaah masyarakat manusia
akan banyak berhubungan dengan kelompok-kelompok social, baik yang kecil
seperti misalnya kelompok keluarga, ataupun kelompok-kelompok besar seperti
masyarakat desa, masyarakat kota, bangsa dan lain-lain. Sebagai Sosiolog, dia
sekaligus merupakan anggota salah satu kelompok social dan akan kian sadar
bahwa sebagian dari kepribadiannya terbentuk oleh kehidupan berkelompok dan dia
hanya merupakan unsur yang mempunyai kedudukan dan peranan yang kecil.
Suatu kelompok social cenderung untuk menjadi kelompok
yang statis, akan tetapi selalu berkembang serta mengalami perubahan-perubahan
baik dalam aktivitas maupun bentuknya. Kelompok tadi dapat menambahkan
alat-alat perlengkapan untuk dapat melaksanakan fungsi, fungsinya yang baru di
dalam rangka perubahan-perubahan yang dialaminya, atau bahkan sebaliknya dapat
mempersempit ruang lingkupnya.[5]
Manusia mempunyai naluri untuk senantiasa berhubungan
dengan sesamanya. Hubungan yang sinambung tersebut menghasilkan pola pergaulan
yang dinamakan pola interaksi social. Pergaulan tersebut menghasilkan
pandangan-pandangan mengenai kebaikan dan keburukan. Pandangan-pandangan
tersebut merupakan nilai-nilai manusia, yang kemudian sangat berpengaruh
terhadap cara dan pola berpikirnya. Kalau, misalnya, seseorang memberikan
tekanan yang kuat kepada factor kebendaan, maka berpikirnya cenderung bersifat
materialistis.
B. Problem Masyarakat dan Solusinya dalam Keagamaan
1. Konflik di Masyarakat
Konflik sebagai suatu gejala social, akan kita dapatkan
dalam kehidupan bersama. Artinya konflik merupakan gejala yang bersifat
universal. Tidak ada kehidupan bersama tanpa adanya konflik, baik pada skala
besar maupun skala kecil. Baik menyangkut konflik antar individu, antar
kelompok maupun antara individu dengan kelompok.
Konflik berskala kecil akan menyebabkan sedikit
orang dalam konflik tersebut dan tidak akan mencakup area yang luas. Konflik
antar individu, konflik dalam keluarga adalah konflik berskala kecil. Konflik
antar suku dan konflik antar Negara merupakan konflik berskala besar yang
cakupan areanya sangat luas dan menyebabkan semakin banyaknya orang yang
terlibat dalam konflik tersebut. Disamping berdasarkan skala besar kecilnya
konflik.[6]
Dalam wacana, teori konflik
beranggapan bahwa masyarakat adalah suatu keadaan konflik yang berkesinambungan
di antara kelompok dan kelas serta berkecenderungan ke arah perselisihan,
ketegangan, dan perubahan. Yang harus digarisbawahi pada pernyataan ini adalah
“masyarakat”. Tampaknya masyarakat menjadi lahan yang tumbuh suburnya konflik. Bibitnya bisa bermacam-macam faktor; ekonomi, politik, social,
bahkan agama. Oleh karena itu, pada sisi ini, agama bisa saja menjadi salah
satu faktor timbulnya konflik yang ada di masyarakat.[7]
Pada dasarnya, apabila merujuk kepada al-Quran, banyak
indikasi yang menjelaskan adanya faktor konflik yang ada di masyarakat. Secara
tegas, alquran menyebutkan bahwa factor konflik itu sesungguhnya berawal dari manusia.
Misalnya, dalam surat Yusuf ayat 5 dijelaskan tentang adanya kekuatan pada diri
manusia yang selalu berusaha menarik dirinya untuk menyimpang dari nilai-nilai
dan norma Ilahi. Atau secara lebih tegas, disebutkan bahwa kerusakan--bisa
berbentuk kerusuhan, demonstrasi, dan lain-lain--diakibatkan oleh tangan
manusia; seperti dalam surat Rum ayat 41. Ayat-ayat ini bisa dijadikan
argumentasi bahwa penyebar konflik sesungguhnya adalah manusia.
2. Solusi atas Konflik yang Terjadi di Masyarakat
Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Begitu juga
konflik yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Baik itu konflik yang sifatnya
social, politik bahkan keagamaan. Oleh karena itu, dalam setiap agama, ada istilah
“dakwah”, meskipun dalam bentuk yang berbeda. Dakwah merupakan upaya mensosialisasikan
(mengajak, menyeru) ajaran agama. Bahkan tidak jarang masing-masing agama akan
berhadapan satu sama lain dalam menegakkan hak kebenarannya. Ini yang
memunculkan adanya sentimen agama. Maka tidak mustahil benturan pun sulit
dihindarkan. Sehingga terjadi hal-hal yang tidak dinginkan di masyarakat
seperti tawuran antar-warga dan semacamnya.
Laporan dari berbagai medan konflik di seluruh dunia justru
menyebutkan masyarakat setempat – pimpinan adat, tokoh agama,– memiliki peran
yang sangat menentukan. Tentu tidak dengan menjadi pagar hidup pasang dada
ketika para pihak yang bertikai saling berhadapan dengan senjata terhunus.
Tidak juga dengan khotbah atau pidato berapi-api dan menyerukan gencatan
senjata.[8]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan dapat disimpulkan bahwa:
1.
Masyarakat merupakan kesatuan
hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu system adapt-istiadat tertentu
yang bersifat kontinu dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama.
2.
Konflik social di masyarakat
memang lumrah terjadi karena kondisi masyarakat yang kompleks. Yang dalam
kesehariannya pasti ada gesekan-gesekan kecil yang akan menimbulkan konflik.
3.
Masyarakat setempat – pimpinan
adat, tokoh agama, dll– memiliki peran yang sangat penting dalam pengendalian
konflik yang terjadi di masyarakat. Sehingga keberadaan mereka sangatlah
dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Wahyu Ms, Wawasan Ilmu Sosial
Dasar, Usaha Nasional, Surabaya
Soekanto, Soerjono, Sosiologi
Suatu Pengantar, Rajawali Press, Jakarta
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama,
Rosda, Bandung
http://wangmuba.com
http://www.syarikat.org
[1] Wahyu Ms, Wawasan Ilmu Sosial Dasar, (Surabaya:Usaha
Nasional), 60.
[2] Ibid, 66
[3] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta:
Rajawali Press), 114
[4] Ibid, 115
[5] Ibid, 116
[6] http://wangmuba.com
[7] Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: Rosda), 148
[8] http://www.syarikat.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar