TAFSIR ADABI AL-IJTIMA’I
Makalah Untuk Tugas Mata Kuliah
Mazaahib at-Tafsir
Oleh:
Muslim Harmaini :
E63207002
Muhammad :
E63207003
Isnan Rojibillah : E6320
Dosen Pembimbing :
Dra.
Hj. CHAIRUL UMAMI, M.Hi
FAKULTAS USHULUDDIN
JURUSAN
TAFSIR HADITS KELAS AKSELERASI
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2009
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar
belakang masalah
Abad
ke-19 dunia Islam mengalami masa suram, terus-menerus merosot, terbelakang dan
banyak Negara muslimin yang sedang menghadapi pendudukan asing. Pada masa
itulah muncul seorang pemimpin Jamaluddin al-Afghani, mengumandangkan seruan
untuk membangkitkan muslimin. Muridnya yang pertam yang mengikuti jejaknya
ialah Syaikh Muhammad Abduh. Dia yang mengajar pembaharuan dalam berbagai
prinsip dan pengertian Islam. Ia menghubungkan ajaran-ajaran agama dengan
kehidupan modern, dan memebuktikan bahwa Islam sama sekali tidak bertentangan
dengan peradaban, kehidupan modern serta apa yang bernama kemajuan.[1]
Maka
dari itulah lahirlah kitab-kitab tafsir yang tidak memberikan perhatian khusus
kepada segi-segi dan sisi-sisi kajian seperti nahwu, istilah-istilah
dalam balaghah,bahasa, dll. Perhatian pokok dari kitab-kitab tafsir ini
adalah memfungsikan al-Qur’an sebagai kitab hidayah dengan cara yang
sesuai dengan ayat-ayat al-Qur’an dan makna-maknanya yang bernilai tinggi,
yaitu member peringatan dan kabar gembira., oleh karena tafsir yang bermanfaat
bagi ummat Islam adalah tafsir yang menjelaskan al-Qur’an dari segi bahwa ia
adalah kitab yang berisi ajaran-ajaran agama yang menunjukkan kepada manusia
cara untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.[2]
Corak ataupun model penafsiran tersebut
di kenal dengan nama al-Laun al-Adaby al-Ijtima’I. Dan salah satu kitab
tafsir yang bercorak seperti ini adalah tafsir al-Manar yang merupakan
hasil karya dari dua tokoh yang mempunyai hubungan guru dan murid, yaitu Syaikh
Muhammad Abduh dan Sayyid Muahammad Rasyid Ridha.
2. Identifikasi
masalah
Dalam makalah ini, penulis ingin memaparkan tentang pengertian
tafsir bercorak bahasa dan sastranya, perkembangan dan kepentingan penafsiran
AlQuran dengan bercorak sastra dari bahasa-bahasa AlQuran
3. Rumusan
masalah
a. Apa
pengertian corak tafsir sastra, budaya, dan social kemasyarakatan
b. Siapa
sajakah tokoh Tafsir adaby al-ijtima`
c. Sebukan
contoh penafsiran adaby al-ijtima`
4. Tujuan
Penelitian
a. Mengeahui
pengertian Tafsir adaby al-ijtima`
b. Mengetahui
Tokoh-tokoh Tafsir adaby al-ijtima`
c. Menetahui
contoh penafsiran adaby al-ijtima`
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian
corak tafsir al-Adabi wa al-Ijtima`iy
Kata al-adaby dilihat dari
bentuknya termasuk mashdar (infinitif) dari kata kerja (madhi) aduba, yang
berarti sopan santun, tata krama dan sastra. Secara leksikal, kata tersebut
bermakna norma-norma yang dijadikan pegangan bagi seseorang dalam bertingkah
laku dalam kehidupannya dan dalam mengungkapkan karya seninya. Oleh karena itu,
istilah al-adaby bisa diterjemahkan sastra budaya. Sedangkan kata al-ijtima’iy
bermakna banyak bergaul dengan masyarakat atau bisa diterjemahkan
kemasyarakatan. Jadi secara etimologis tafsir al-adaby al-Ijtima’i adalah
tafsir yang berorientasi pada satra budaya dan kemasyarakatan, atau bisa di
sebut dengan tafsir sosio-kultural.[3]
Berbagai model tafsir yang sudah mulai
berkembang di Indonesia adalah tafsir al-Adabi wa al-Ijtima’iy. Model
tafsir ini adalah tafsir yang pembahasannya lebih menekankan pada aspek-aspek
sastra, budaya, dan kemasyarakatan. Definisi tafsir jenis ini dirinci dan di
uraikan oleh para ahli sebagai berikut. Sebagai contoh, Dr. Muhammad Husai
al-Dzahabi mengatakan tafsir al-Adaby wa al-Ijtima’iy adalah tafsir yang
menyingkapkan balaghah, keindahan bahasa alQuran dan ketelitian
redaksinya, kemudian mengaitkan kandungan ayat-ayat alQuran dengan sunatullah
dan aturan hidup kemasyarakatan, yang berguna untuk memecahkan problemaka umat
Islam khususnya dan umat manusia pada umumnya.[4]
Sedangkan Manna’ Qathan memberikan
definisi: “Tafsir yang diperkaya dengan riwayat salaf al-Ummah dan
dengan urayan tentang sunatullah yang berlaku dalam masyarakat. Menguraikan
gaya alQuran yang pelik dengan menyingkapkan maknanya dengan ibarat-ibarat yang
mudah serta berusaha menerangkan maslah-masalah yang musykil dengan
maksud untuk mengembalikan kemuliaan dan kehormatan Islam serta mengobati
penyakit masyarakat dengan petunjuk alQuran.”[5]
Dari definisi tersebut dapat diketahui beberapa hal, sebagai berikut:
a. Tafsir
ini menekankan penelitiannya pada keindahan gaya bahasa alQuran serta
ketelitian redaksinya, yang didalamnya terkandung hikmah mendalam yang dapat
meamberikan sentuhan iman dan rangsangan intelektual.
b. Dalam
tafsir ini makna yang dicakup oleh ayat alQuran dikaitkan dengan sunatullah
sertan peran dan kedudukan akal sangat penting.
c. Tafsir
ini mengungkapkan sunatullah yang berlaku pada umat terdahulu yang di pandang
penting untuk mendorong pembangunan demi emakmuran masyarakat. Pemahaman dan
pemamfaatan sunatullah harus dilandasi dengan nilai moral yang bersumber dari
alQuran.
d. Diampin
mempergunakan interpretasimakal, tafsir ini juga menggunakan riwayat-riwayat, (atsr)
dan sejarah. Hingga dapat dikatakan bahwa tafsir ini menggabungkan antara
pendekatan akal, atsar dan sejarah.
2. Corak
penafsirannya
Corak tafsir al-Adaby al-Ijtima’I adalah
corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan
langsung dengan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi
penyakit-penyakit masyarakat atau masalah-maslah mereka berdasarkan petunjuk
ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang
mudah dimengerti tapi indah didengar.[6]
Corak penafsiran pada aliran tafsir ini
meliputibeberapa hal pokok yaitu; pertama, memandang bahwa setiap surat
merupakan satu kesatuan, ayat-ayatnya mempunyai hubungan yang serasi. Salah
satu yang menonjol dalam tafsir ini adalah berusah membuktikan bahwa ayat-ayat
dan surat dalam alQuran merupakan satu kesatuan yang utuh, sebab mustahil
alQuran sebagai kalamullah tidak memeiliki relevansi dalam ayat-ayat dan
surarnya.
Syaih Muhammad Abduh, tokoh utama aliran
tafsirini membuktikan hal tersebut, dengan member contoh pada ayat 1 dan 2
surat al-Fajr, Wal fajri walayalin ‘asrin (demi malam dan bulan kesepuluh).
Menurut beliau, para mufassir tidak menjelaskan relevansi ayat tersebut karena
menganggap tidak sejalan. Mereka member arti khusus, padahal kata al-faj dan
layal mempunyai pengertian umum. Sebab apabial alQuran menyebutkan waktu
tertentu, maka diberi ciri atau sifat tertentu pula, misalnya yaum
al-qiyamah, al-yaum amau’ud,laylat al-qadr, dan sebagainya. Jadi al-faj dan
layal di atas menunjukkan waktu secara umum. Hubungan munasabah antara dua ayat
tersebut terletak pada kesamaannya yakni fajar yang terbit dapat menggeser
kegelapan malam dan akhirnya malam dikalahkan oleh terang yang merata.
Kedua
adalah, keumuman kandungan alQuran. Menurut Muhammad Abduh, kandungan alQuran
bersifat universal dan berlaku terus sampai hari kiamat. Di dalamnya terdapat
pelajaran-pelajaran, janji dan ancaman, berita gembira dan siksa, serta ajaran
tentang aqidah, akhlak dan ibadah yang dapat berlaku semua umat dan bangsa,
bukan umat tertentu saja.[7]
Ketiga
adalah, alQuran sumber utama aqidah dan syariat Islam. Untuk
menetapkan suatu ketetapan hukum harus kembali kepada sumber yang pertama yaitu
alQuran. Muhammad Abduh sebagai tokoh utama aliran tafsir ini mengecam sementara
mufassir yang menganggap bahwa sebagian ayat alQuran musykil hanya tidak
sejalan dengan pendapat aliran (mazhabnya).
Keempat
adalah, menerangi taklid buta. Salah satu aliran tafsir ini adalah berusaha
menghilangkan taklid buta dalam masyrakat Islam, karena dianggap
menyebabkan umat Islam beku, tidak
dinamis dan tidak mencerdaskan masyarakat. Pendapat tengtang perlunya membuka
pintu ijtihad dan usaha memerangi taklid didasarkan atas kepercayaan alQuran
pada kekuatan akal.
Kelima
adalah, penggunaan daya pikir serta nalar dan metode ilmiah. Di dalam alQuran
terdapat sejumlah ayat yang mengajak manusia melakukan nadzar (pengamatan)
terhadap alam semesta serta mengambil pelajaran darri pertanda kekuasaan Allah
di alam semesta ini dan keajaiban pencipta-Nya. Karena itu lah Allah memberikan
anugerah kepada manusia berupa dua macam ayat-Nya, yaitu alQuran (wahyu) dan
ayat kauniyyah (alam semesta).[8]
Keenam
adalah, peranan akal (nalar) dalam pemahaman alQuran. Salah satu corak aliran
Islam ini adalah penggunaan interpretasi oleh akal. Muhammad Abduh berpendapat
bahwa alQutan sangat menghargai akal pikiran dan memberikan kedudukan yang
terhormat. Karena itu, dalam alQuran banyak ayat yang menyuruh menggunakan akal
pikiran seperti; afala ta’qilun, afala tatafakkarun dan sebagainya.
Karena itu, wahyu dan akal kedudukannya
merupakan tanda kekuasaan Allah dalam wujud ini. Kedua tanda kekuasaan itu
tidak mungkin berlawanan, karena:
1. Keduanya
menjadi tanda zat yang mutlak sempurna. Akal manusia memustahilkan adanya
perlawanan antara tanda-tanda tersebut karena perlawanan itu berarti suatu
kelemaha.
2. Wahyu
dan akal keduanya menjadi sumber hidayah, keduanya menuntun pada jalan yang
lurus untuk kehidupan manusia dan menentukan tujuan akhir manusia dalam
kehidupannya di atas dunia ini. Kedua hal yang demikian keadaannya tidak akan
berbeda di dalam garis besar dalam menentukan arah dan tujuan hidup manusia.
Muhammad Abduh meletakkan akal dalam
kedudukan yang tinggi dalam menafsirkan ayat. Sebagai contoh, menurut beliau
malaikat bukan merupakan satu “person” tetapi bersifat satu kekuatan yang
berfungsi mengateur mekanisme pertumbuhan dan perkembangan makhluk-makhluk di
alam semesta ini.
Ketujuh,
tidakmenjelaskan masalah mubham yang terdapat dalam alQuran. Aliran tafsir ini
tidak menjelaskan yang mubha, yaitu persoalan yang samara tau tidak di
terangkan hakikatnya dalam alQuran.
Sebagai contoh al-Baqarah (sapi betina) dan al-qaryah yang masing-masing di
sebut dalam surat al-Baqarah ayat 67 dan ayat 58, juga wa faqihah, wa abba pada
ayat 31 surat ’Abasa dan lain-lain.
Kedelapan,
sangat hati-hati mengambil riwayat yang bersumber dari sahabat dan tabi’in dan
menolak Israiliat. Sekalipun tafsir ini bercorak bi al-ma’tsur
disampinng aqli, tetapi sangat behati-hati menerima riwayat dari sahabat
dan tabi’in. bahkan menggunakan hadispun sangat selektif. Hal ini dilator
belakangi oleh Muhammad Abduh yang sangatrasional sehingga tidak terlalu
percaya pada rangkayan sanat ataupun hadits.
Kesembilan
adalah, merelevensikan ayat-ayat alQuran dengan kebutuhan masyarakat. Sesuai
dengan aliran tafsir ini yang berorientasi kepada kemasyarakatan, maka salah
satu corak penafsirannya adalah mengkaitkan antara ayat alQuran dengan
kebutuhan masyarakat. Pada masa Abduh, umat Isalam berada dalam cengkraman
kolonia barat. Maka ttefsir ini berusaha membangkitkan umat dari tidurnya,
bangkit melawan penjajah dan kembali mengkaji nilai-nnilai alQuran sehingga
dapat mendorong pada pembangunan dan kemakmuran rakyat.
Sepeninggal Muhammad Abduh, karya tafsir
ini dilanjutkan oleh Rashid Ridla. Dia berusaha mengkaji aya-ayat alQuran
dengan berbagai disiplin ilmu seperti: fikih, ushul fikih, pengetahuan tentang rijal
al-hadits (hukum-hukum) kemasyarakatan, pendapat-pendapat para mufassir dan
sertab ulum alQuran.
Jadi, corak penafsiran al-Adaby
al-Ijtima’ adalah corak penafsiran yang berorientasi pada sastra budaya
kemasyarakatan, suatu corak penafsiran yang menitik beratkan penjelasan ayat
al-Qur’an pada segi-segi ketelitian redaksionalnya, kemudian menyusun kandungan
ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama
turunnya ayat kemudian merangkaikan pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum
alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia.
3. Tokoh
Tafsir adaby al-ijtima`
Tokoh
utama aliran tafsir ini adalah Syaikh Muhammad Abduh adalah Muhammad bin Abduh
bin Hasan Khairullah. Ia dilahirkan di desa Mahallat Nashr di Kabupaten
al-Buhairah, Mesir pada tahun 1849 M. ia berasal dari keluarga yang tidak
tergolong kaya, tidak pula keturunan bangsawan. Namun demikian ayahnya dikenal
sebagai orang terhormat yang suka memberi pertolongan.[9]
Muhammad Abduh terkenal sebagai orang yang tajam pemikiranya. Dalam usia enam
tahun telah menghafal alQuran setelah itu ia di kirim ayahnya ke Tanta untuk
belajar ilmu-ilmu agama kemudian pergi ke Kairo dan tinggal di Mesjid al-Azhar
sebagai sufi, atas anjuran pamanya kemudian kehidupanya itu di tinnggal kannya
Mula-mula Muhammad Abduh dikirim oleh
ayahnya ke Masjid al-Ahmadi Thantha untuk mempelajari tajwid al-Qur’an. Ia
belajar disan sampai dua tahun. Setelah itu, ia memutuskan untuk kembali ke
desanya dan bertani seperti saudara-saudara serta kaum kerabatnya. Waktu
kembali ke desa inilah ia dikawinkan.Walaupun sudah kawin, ayahnya memaksanya
untuk kembali belajar. Namun Muhammad Abduh sudah bertekad untuk tidak kembali.
Maka ia lari ke desa Syibral Khit, di sana banyak paman dari pihak ayahnya
bertempat tinggal. Di kota inilah ia bertemu dengan Syaikh Darwisy Khidr, salah
seorang pamannya yang mempunyai pengetahuan tentang al-Qur’an. Sang paman
berhasil mengubah pandangan pemuda Muhammad Abduh dari seorang yang membenci
ilmu pengetahuan menjadi seorang yang menggemarinya.
Dari sini Muhammad Abduh kembali ke
Masjid al-Ahmadi Thantha, dan kali ini minat dan pandangannya untuk belajar
telah jauh berbeda disbanding pertama kali ia ke sana.Dari Thantha, Muhammad
Abduh menuju ke Kairo untuk belajar di al-Azhar, yaitu pada bulan Februari,
1866. Namun system pengajaran ketika itu tidak berkenan di hatinya, karena
menurut Abduh:
“Kepada mahasiswa hanya dilontarkan pendapat-pendapat para ulama terdahulu tanpa mengantarkan mereka kepada usaha penelitian, perbandingan dan pentarjihan.” Namun demikian, di perguruan tinggi ia sempat berkenalan dengan sekian banyak dosen yang dikaguminya, antara lain:
“Kepada mahasiswa hanya dilontarkan pendapat-pendapat para ulama terdahulu tanpa mengantarkan mereka kepada usaha penelitian, perbandingan dan pentarjihan.” Namun demikian, di perguruan tinggi ia sempat berkenalan dengan sekian banyak dosen yang dikaguminya, antara lain:
1. Syaikh
Hasan al-Thawil yang mengajarkan kitab filsafat, padahal kitab tersebut tidak
diajarkan pada waktu itu.
2. Muhammad
al-Basyuni, seorang yang banyak mencurahkan perhatian dalam bidang sastra
bahasa, bukan melaluiajaran tata bahasa melainkan melalui kehalusan rasa dan
kemampuan mempraktikkannya.[10]
Pada tahun 1294 H ia telah memperoleh
ijazah sarjana dari al-Azhar. Kemudian, Jamaluddin al-Afghani ketika itu dating
ke Mesir. Muahmmad Abduh bertemu dengan dia dan mendengarkan kuliah-kuliahnya,
baik di rumahnya, di kafenya, ketika ia sedang berkunjung atau dikunjungi.
Kedua tokoh ini mersa ada kesamaan tujuan dan cocok, sehingga mereka akhirnya
saling membantu dan sama-sama menaruh rasa suka.[11]
Setelah dua tahun sejak pertemuannya dengan Jamaluddin al-Afghani, terjadilah
perubahan yang sangat berarti pada keperibadian Abduh, dan mulailah ia menulis
kitab-kitab karangannya seperti Risalah al-‘Aridat (1873), disusul
kemudian dengan Hasyiah-Syarah al-Jalal al-Dawwani Li al-Aqa’id
al-Adhudhiyah (1875). Dalam karangannya ini, Abduh yang ketika itu baru
berumur 26 tahun telah menulis dengan mendalam tentang aliran-aliran filsafat,
ilmu kalam (teologi) dan tasawuf, serta mengkritik pendapat-pendapat yang
dianggapnya salah.[12]
Pada tahun 1888 Muahammad Abduh kembali
ke tanah airnya yang sebelumnya ia berpindah-pidah tempat dengan berbagai
alasan, dan oleh pemerintah Mesir ia diberi tugas sebagai hakim di Pengadilan
Daerah Banha. Walaupun ketika itu Abduh sangat berminat untuk mengajar, namun
agaknya pemerintah Mesir sengaja untuk merintangi, agar pemikiran-pemikirannya
yang mungkin bertentangan dengan kebijakan pemerintah pada saat itu tidak dapat
diteruskan pada putra-putri Mesir.Pada tahun 1905 Muhammad Abduh mencetuskan
ide pembentukan universitas Mesir. Ide ini mendapat tanggapan antusias dari
pemerintah maupun masyarakat, terbukti dengan disediakannya sebidang tanah
untuk maksud tersebut. Namun sayang, universitas yang ia cita-citakan baru
berdiri setelah ia berpulang ke Rahmatullah, dan universitas inilah yang
kemudian menjadi “Universitas Kairo.”
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha telah
merintis kebangkitan ilmiah dan memberikan buahnya kepada murid-muridnya.
Kebangkitan ini berpusat pada kesadaran Islami, upaya pemahaman ajaran
sosiologis Islam dan pemecahan agama terhadap problematika kehidupan masa kini.
Benih-benih kebangkitan tersebut sebenarnya dimulai dengan gerakan Jamaluddin
al-Afghani, yang kepadanya Abduh berguru. Abduh memebrikan mata kuliah tafsir
di Universitas al-Azhar dan mendapat sambutan baik dari murid dan mahasiswanya.
Dan Rasyid Ridha adalah murid paling tekun mempelajari mata kuliah tersebut,
paling semangat dan mencatatnya dengan teliti, yang akhirnya dengan gurunya
inilah ia buahkan kitab tafsir yang diberi nama al-Manar.[13]
Pada 11 Juli 1905, Muhammad Abduh meninggal dunia di Kairo, Mesir. Yang
menangisi kepergiannya bukan hanya umat Islam, tetapi ikut pula berduka sekian
banyak tokoh non-Muslim.[14]
Disamping
pengaruh pendidikan dan pengalaman yang dilaluinya maka salah satu kekerasan
yang sangat membangkitkan semangat dan membuka cakrawala pandangan beliau adlah
pertemuannnya dengan Sayyid Jamaluddin al-Afghani pada 1872 M, untuk kemudian
menjadi muridnya yang setia. Karena pengabdian gurunya itu, ia terjun
kelapangan persurat kabaran. Beliau pernah di tunjuk sebagai redaktur surat
kabar Al-Waqiyah al-Rasmiyyah. Kemudian setelah menyelesaikan
pelajarannya di Dar al-Ulumia diangkar. Ia diangkat diangkat sebagi guru di
perguruan tersebut.
Beliau
bersama gurunya, Jamaluddin al-Afghani, dikenal sebagai modernis Islam yang
menyeruan kepada umat Islam di dunia untuk bangkit dari tidurnya. Bangkit
melawan kekuasaan asing yang menjajah tanah airnya, serta membangkitkan umat
Islam agar dapatd tampil sejajar dengan bangsa lain.
Pemikiran-pemikiran
beliau dituangkan melalui cermah-ceramah, kuliah dan tulisan-tulisan, antara
lain melalui penafsiran Alquran yang kemudian melahirkan metode yang baru dari
metode sebelumnya. Karya tafsir beliau pada mulanya disajikan dalam bentuk
kuliah, ceramah dan dajam bentuk tulisan. Tafsirnya yang terkenal adalah Tafsir
Juz’amma, diselesaikan pada tahun 1321 H di Maroko. Tafsir Surah Wa
al-‘Ashar adalah hasil kuliah yang disajikan kepada para ulama Aljazair,
sedangkan Tafsir al-Fatihah sampai ayat 129 surat al-Nisa’ di selesaikan di
Mesir sewaktu menjalani enam tahun sisa umurnya, juga ada beberapa tafsir
beliau secara persial pada sejumlah ayat.[15]
Karya
tafsir itu kemudian dikumpulkan oleh muritnya, Rasyid ridla melalui proses
konsultasi. Setelah Muhammad Abduh wafat (1905 M) penafsiaran itu dilanjutkan
oleh Rashid Ridla sam[pai juz ke dua belas dari Tafsir Alquran al-Hakim, yang
kemudian dikenal dengan Tafsir al-Manar.
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dilahirkan
di Qalmun, suatu kampung sekitar 4 km dari Tripoli, Lebanon, pada 27 Juamadil
‘Ula 1282 H. Dia adalah bangsawan Arab yang mempunyai garis keturunan langsung
dari Sayyidina Husain, Putra Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Putri Rasulullah
saw.Disamping orangtuanya sendiri, Rasyid Ridha belajar juga kepada sekian
banyak guru. Di masa kecil ia belajar di taman-taman pendidikan di kampungnya
yang ketika itu dinamai al-Kuttab, di sana diajarkan membaca al-Qur’an,
menulis, dan dasar-dasar berhitung.Setelah tamat Rasyid Ridha dikirim oleh
orangtuanya ke Tripoli, Lebanon untuk belajar di Madrasah Ibtidaiyah yang
mengajarkan Nahwu, Sharaf, Aqidah, Fiqh, behitung, dan ilmu bumi. Bahasa
pengantar yang digunakan di sekolah tersebut adalah bahasa Turki, mengingat
Lebanon pada saat itu berada di bawah kekuasaan Ustmaniyah. Mereka belajar di sana
dipersiapkan untuk menjadi pegawai-pegawai pemerintah.
Karena itu Rasyid Ridha tidak tertarik
untuk belajar di sana. Setahun kemudian, yatu pada tahun 1299 H/1822 M, ia
pindah ke Sekolah Islam Negri, yang merupakan sekolah terbaik pada saat itu
dengan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar, disamping diajarkan pula bahasa
Turki dan Prancis. Sekolah ini didirikan oleh ulama besar Syam ketika itu,
yakni Syaikh Husain al-Jisr. Syaikh inilah yang kelak mempunyai andil sangat
besar terhadap perkembangan pemikiran Rasyid Ridha, karena hubungan antara
keduanya tidak terhenti walaupun kemudian sekolah itu ditutup oleh pemerintah
Turki. Syaikh Husan al-Jisr juga yang memberi kesempatan kepada Rasyid Ridha
untuk menulis di beberapa surat kabar Tripoli, kesempatan itu kelak
mengantarnya memimpin majalah al-Manar[16]
Pada saat Rasyid Ridha memulai
perjuangan di kampung halamannya, baik melalui pengajian-pengajian untuk
kaumpria dan wanita maupun tulisan-tulisannya di media masa,Muhammad Abduh
memimpin pula gerakan pembaruan di Mesir.Majalah al-‘Urwah al-Wutsqa yang
diterbitkan oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muahammad Abduh di Paris, yang
tersebar ke seluruh dunia Islam, ikut dibaca pula oleh Rasyid Ridha dan member
pengaruh sangat besar terhadap jiwanya, sehingga mengubah sikap pemuda yang
berjiwa sufi ini menjadi pemuda yang penuh semangat.Kekagumannya kepada
Muhammad Abduhbertambah mendalam sejak Abduh kembali ke Beirut untuk kedua
kalinya pada 1885 dan mengajar sambil mengarang. Pertemuan antar keduanya
terjadi ketika Syaikh Muhammad Abduh berkunjung ke Tripoli untuk menemui
temannya, Syaikh Abdullah al-Barakah, yang mengajar di sekolah al-Khanutiyah.
Berkat inilah mereka berdua bertemu untuk pertama kali.Pertemuan kedua terjadi
pada tahun 1312 H/1894 M, juga di Tripoli. Kali ini Rasyid Ridha menemani Abduh
sepanjang hari, sehingga banyak kesempatan bagi Rasyid Ridha untuk menanyakan
sesuatu yang masih kabur baginya.
Setelah lima tahun dari pertemuan kedua,
maka baru pada 23 Rajab 1315 H/18 Januari 1898 M terjadi pertemuan ketiga di
Kairo, Mesir. Sebulan setelah pertemuan ketiga ini, Rasyid Ridha mengemukakan
keinginannya untuk menerbitkan suatu surat kabar yang mengolah masalah-masalah
social, budaya dan agama.Pada mulanya Abduh tidak menyetujui gagasan ini,
karena pada saat itu di Mesir sudah cukup banyak media massa, apalagi persoalan
yang akan diolah kurang menarik perhatian umum. Namun Rasyid Ridha menyatakan
tekadnya, walaupun harus menanggung kerugian selama satu sampai dua tahun
setelah penerbitan itu. Akhirnya Abduh merestui dan memeilih nama al-Manar dari
sekian banyak nama yang diusulkan Rasyid Ridha.Akhirnya al-Manar melangsungkan
launching pertamanya pada 22 Syawwal 1315 H/17 Maret 1898 M berupa Mingguan
sebanyak delapan halaman dan mendapat sambutan hangat, bahkan bukan hanya di
Mesir atau Negara-negara Arab sekitarnya saja, tetapi sampai ke Eropa bahkan ke
Indonesia.[17]
Setelah suksesnya penerbitan majalah al-Manar, kemudian Rasyid Ridha
menghimpun dan menambah penjelasan seperlunya dalam sebuah kitab tafsir yang
juga diberi nama al-Manar, kitab tafsir ini mengandung pembaruan dan
sesuai denga perkembangan zaman. Ia berusaha menghubungkan ajaran-ajaran
al-Qur’an dengan kehidupan masyarakat, disamping membuktikan bahwa Islam adalah
agama yang memiliki sifat universal, umum, abadi dan cocok bagi segala keadaan,
waktu dan tempat.[18]
Dalam
perjalanan pulang dari kota suez di Mesir, setelah mengantar pangeran Sa’ud
al-Faisal, mobil yang dikendarainya mengalami kecelakaan dan ia menderita gegar
otak. Selama dalam perjalanan, Rasyid Ridha hanya membaca al-Qur’an, walau ia
telah sekian kali muntah. Setelah memperbaiki posisinya, tanpa disadari oleh
orang-orang yang menyertainya, tokoh ini wafat dengan wajah yang sangat cerah
dan disertai senyuman, pada 23 Jumadil ‘Ula 1354 H, bertepatan dengan 22
Agustus 1935 M.[19]
Mufassir yang lain yang bercorak al-adabi wa
al-ijtima’iy adalah Ahmad Mustafa al-Maraqhi dengan tafsirnya Tafsir al-Maraghi
dan Abdul Halim Mahmud, dalam kitabnya Tafsir Alquran al-Karim.
3. Contoh
Tafsir adaby alijtima`
Pemikiran
Muhammad Abduh yang dimasukkan dalam penafsiran atas al-Qur’an, yang
dipublikasikan berdasarkan atas kitab yang diturunkan (wahyukan).perbedaan
dalam tujuan menafsirkan al-Qur’an itu tampak ketika beliau menafsirkan
al-Qur’an dengan menggunakan persepektif sosiologi, yang dapat menjelaskan
bahwa al-Qur’an al-Hakim itu merupakan sumber kebahagiaan baik dalam konteks
urusan agama dan urusan duniawi dalam setiap masa. Ketika spirit inilah,
Muhammad Abduh memiliki pandangan yang bertolak belakang dengan para ahli
tafsir klasik, bahwa nilai al-Qur’an it uterus mengalami peningkatan disebabkan
minimnya pengaruh konseptual dari aturan-atura balaghah tentang sinonimitas
kata dalam al-Qur’an. Hal itu sebagaimana dalam firman Allah yang berbunyi:
“sesungguhnya
Allah adalah Dzat yang maha penyayang serta pengasih kepada semua manusia”. Maka
yang harus digaris bawahi dari bentuk penggunaan dua lafazh yang menunjukkan
pada dua makna yang sangat berdekatan ini adalah menggambarkan tartib (susunan)
makna yang ditunjukkan kedua lafazh tersebut, dengan menunjukkan lafzh yang
datang setelahnya itu memiliki makna yang lebih tinggi daripada makna lafazh
sebelumnya. Para ahli Balaghah kemudian menyebut kaidah ini dengan pola
peningkatan dari makna yang lebih rendah ke makna yang lebih tinggi (al-taraqi
min al-adna ila al-a’la). Serta pertayaan yang terkait dengan keyakinan:
Apakah para nabi itu lebih mulia derajatnya daripada derajat para malaikat?
Maka golongan Mu’tazilah dan sebagian dari golongan Asy’ari-al-Baqilani dan
al-Hilimi menyatakan bahwa para malaikat itu lebih utama derajatnya, sedangkan
mazhab Asy’ari pada umumnya menyatakan bahwa para nabi itulah yang memiliki
derajat yang lebih utama daripada malaikat. Telah terjadi perdebatan sengit
seputar manakah yang lebih utama , ketika menafsirkan ayat 172 surat an-Nisa’
yang berbunyi:
“Al-Masih
sekali-kali tidak enggan menjadi hamba bagi Allah, dan tidak (pula enggan)
malaikat-malaikat yang terdekat kepada Allah, barang siapa yang enggan untuk
menyembah-Nya dan menyombongkan diri, nanti Allah akan mengumpulkan mereka
semua kepada-Nya”.pada ayat tersebut para malaikat disebut setela nabi Isa
menurut tartib ayat.
Jelaslah,
bahwa (al-Baqarah; 142) tidak menganut kaidah tersebut. Lafazh “ra’uf”
(yang maha pengasih) itu menunjukkan pada makna “kasih sayang yang sangat”,
dan lafazh itu memiliki madlul (makna yang ditunjukkan) lebih kuat dari lafazh
“rahim” yang jatuh setelahnya. Dalam tafsir al-Sya’bi karya al-Jalalain
terdapat beberapa alasan (sebab) aat ini tidak mengikuti kaidah balaghah,
karena lafazh itu memiliki kandungan makna yag lebih karena adanya pemisah.[20]
BAB
III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Ø Corak
tafsir al-Adaby al-Ijtima’I adalah corak tafsir yang menjelaskan
petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan masyarakat
dan berorientasi pada sastra budaya kemasyarakatan.
Ø Tokoh
dalam corak penafsiran ini (al-Adaby al-Ijtima’i) adalah dan dilanjutkan
oleh ulama-ulama lain, terutama Muhammad Mustafa al-Maraghi. Abduh yang ketika
itu baru berumur 26 tahun telah menulis dengan mendalam tentang aliran-aliran
filsafat, ilmu kalam (teologi) dan tasawuf, serta mengkritik pendapat-pendapat
yang dianggapnya salah. Muhammad Abduh menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan
persepektif sosiologi, yang dapat menjelaskan bahwa al-Qur’an al-Hakim itu
merupakan sumber kebahagiaan baik dalam konteks urusan agama dan urusan duniawi
dalam setiap masa. Syaikh Muhammad Rasyid Ridha telah merintis kebangkitan
ilmiah dan memberikan buahnya kepada murid-muridnya. Kebangkitan ini berpusat
pada kesadaran Islami, upaya pemahaman ajaran sosiologis Islam dan pemecahan
agama terhadap problematika kehidupan masa kini.
Ø Sebagian
dari contoh penafsiran bercorak adabi al-ijtima’ adalah;
a. “sesungguhnya
Allah adalah Dzat yang maha penyayang serta pengasih kepada semua manusia”.
b. Maka
yang harus digaris bawahi dari bentuk penggunaan dua lafazh yang menunjukkan
pada dua makna yang sangat berdekatan ini adalah menggambarkan tartib (susunan)
makna yang ditunjukkan kedua lafazh tersebut, dengan menunjukkan lafzh yang
datang setelahnya itu memiliki makna yang lebih tinggi daripada makna lafazh
sebelumnya. Para ahli Balaghah kemudian menyebut kaidah ini dengan pola
peningkatan dari makna yang lebih rendah ke makna yang lebih tinggi (al-taraqi
min al-adna ila al-a’la). Serta pertayaan yang terkait dengan keyakinan:
Apakah para nabi itu lebih mulia derajatnya daripada derajat para malaikat?
Maka golongan Mu’tazilah dan sebagian dari golongan Asy’ari-al-Baqilani dan
al-Hilimi menyatakan bahwa para malaikat itu lebih utama derajatnya, sedangkan
mazhab Asy’ari pada umumnya menyatakan bahwa para nabi itulah yang memiliki
derajat yang lebih utama daripada malaikat. Telah terjadi perdebatan sengit
seputar manakah yang lebih utama , ketika menafsirkan ayat 172 surat an-Nisa’
yang berbunyi:
c. “Al-Masih
sekali-kali tidak enggan menjadi hamba bagi Allah, dan tidak (pula enggan)
malaikat-malaikat yang terdekat kepada Allah, barang siapa yang enggan untuk
menyembah-Nya dan menyombongkan diri, nanti Allah akan mengumpulkan mereka
semua kepada-Nya”.pada ayat tersebut para malaikat disebut setela nabi Isa
menurut tartib ayat.
d. Jelaslah,
bahwa (al-Baqarah; 142) tidak menganut kaidah tersebut. Lafazh “ra’uf”
(yang maha pengasih) itu menunjukkan pada makna “kasih sayang yang sangat”,
dan lafazh itu memiliki madlul (makna yang ditunjukkan) lebih kuat dari lafazh
“rahim” yang jatuh setelahnya. Dalam tafsir al-Sya’bi karya al-Jalalain
terdapat beberapa alasan (sebab) aat ini tidak mengikuti kaidah balaghah,
karena lafazh itu memiliki kandungan makna yag lebih karena adanya pemisah.
2. Saran
Akhirnya pemakalah menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,maka dari itu pemakalah memohon
kritikan dan saran pembaca guna memperbaiki dan
menyempurnakan makalah kami selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Muhammad ,Tafsit Juz Amma, Kairo: Dar
al-Hilal, 1986
Abduh, Muhammad, Risalah al-Tauhid, Kairo:
Matba’ah al-Mannar, 1368 H
al-Qattan.Manna’
Khalil, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, terj. Mudzakir, Studi Ilmu-ilmu
al-Qur’an.2007.Jakarta: Litera Nusantara.,ctk. 10.
al-Syirbashi,.Ahmad.2001.Sejarah
Tafsir al-Qur’an.Jakarta: Firdaus.
al-‘Aridl,.Ali
Hasan.1992. Sejarah dan Metodologi Tafsir .Jakarta: CV. Rajawali Pers.
Al Muhatsib,Abdul Majid
Abdus Salam.1997.Visi dan Paradigma Tafsir al-Qur’an Kontemporer.Bangil:
al-Izzah.
Karman,Supiana-M.2002. Ulumul
Qur’an.Bandung: pustaka islamika.
Syihab.Quraish.1994. Studi
Kritis Tafsir al-Manar .Bandung: pustaka hidayah.
Syihab.Quraish.2007. Membumikan
al-Qur’an.Bandung: PT. Mizan Pustaka.ctk. I.
[1]
Ahmad al-Syirbashi, Sejarah Tafsir al-Qur’an (Jakarta: Firdaus, 2001),
hlm. 161
[2]
Ali Hasan al-“Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir (Jakarta: CV.
Rajawali Pers, 1992), hlm. 69-70
[3]
Supiana-M. Karman, Ulumul Qur’an (Bandung: PUSTAKA ISLAMIKA, 2002), hlm.
316-317
[4] Muhammad Husain
al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz, III, (Mesir: Dar alKitab
al-Arabi, 1976), hlm. 215
[5] Manna’ al-Qaththan, Mabahish
fi Ulum alQuran, (Bairut: Muassasah
al-Risalah, 1976).
[6]
Quraish Syihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007),
ctk. I, hlm. 108
[7] Muhammad Abduh, Tafsit
Juz Amma, (Kairo: Dar al-Hilal, 1986), hlm. 77
[8] Muhammad Abduh, Risalah
al-Tauhid, (Kairo: Matba’ah al-Mannar, 1368 H)hlm 23
[9] Quraish Syihab, Studi
Kritis Tafsir al-Manar (Bandung: PUSTAKA HIDAYAH, 1994), hlm. 11
[10]
Quraish Syihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar (Bandung, PUSTAKA HIDAYAH,
1994)hlm. 12-13
[11]
Abdul Majid Abdus Salam Al Muhatsib, Visi dan Paradigma Tafsir al-Qur’an
Kontemporer (Bangil: AL IZZAH, 1997), hlm.106
[12]
Quraih Syihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar (Bandung, PUSTAKA HIDAYAH,
1994), hlm. 14
[13]
Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, terj. Mudzakir, Studi
Ilmu-ilmu al-Qur’an (Jakarta: Litera Nusantara, 2007),ctk. 10, hlm. 511-512
[15] Muhammad Husai
al-Zahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Mesir: Dar al- Kitab 1976),
218-220
[18]
Ahmad al-Syirbashi, Sejarah Tafsir al-Qur’an (Jakarta: Firdaus, 2001),
hlm. 161
[19]
Quraish Syihab, Studi …hlm. 65
[20] Ignaz Goldziher,mazhab……..hal
422
Tidak ada komentar:
Posting Komentar